Senja pun tiba, suara adzan hampir berkumandang, tapi Dashiell belum juga pulang. Viku khawatir, bukan khawatir pada Dashiell, tapi dia mengkhawatirkan apa yang tengah diperbuat oleh adiknya. Takut-takut adiknya kembali membuat ulah, merepotkan seluruh warga.
Baru saja Viku berniat menyusul sang adik, tetapi si tuyul sudah kembali dengan penampilan acak-acakan disertai isak tangisan. Viku sudah terbiasa dengan hal ini, adiknya memang sangat tengil juga jahil, tapi ia gampang sekali dibodohi dan hatinya serapuh kertas usang, orang-orang menyebutnya baperan.
"Kenapa lagi?" Viku bertanya, menatap Dashiell dari atas sampai bawah.
"Kena marah Pak Ustadz!" Dashiell menjawab ketus tanpa melihat sang kakak. Viku meringis, entah apa lagi yang diperbuat oleh adiknya itu.
"Emang kamu ngapain? Udahan dong bandelnya, udah mau gede, ga malu?"
Dashiell menatap tajam sang kakak, ia mengusap kasar airmata yang mengalir dipipinya sembari menyedot kuat-kuat ingusnya hingga berbunyi 'srott'.
"Cil enggak nakal! Acil cuma mau bantuin kakak-kakak di masjid! Acil mau bantuin mereka bikin banner buat lomba! Pas bannernya udah selesai, Cil malah kena marah sama Pak Ustadz gara-gara slogan yang Acil buat! Padahal kakak-kakak udah setuju sama slogan itu. Acil gamau tau, Acil marah sama Pak Ustadz!" Teriaknya.
Viku mengernyit. Menurutnya tidak ada yang salah atas hal itu, tapi mengapa Pak Ustadz marah kepada adiknya?
"Emang slogan apa yang kamu buat?" Viku bertanya was-was.
Dashiell menyodorkan sebuah kertas yang ada ditangannya kepada Viku, Viku baru menyadari bahwa sedari tadi adiknya membawa benda itu. Kertas itu berukuran A3, dengan perlahan Viku membuka gulungan kertas tersebut, banyak coretan warna warni yang Viku yakini berasal dari campuran bermacam-macam jenis krayon, pewarna bibir, dan kutek. Viku mengernyit, rasa geli dan amarah meluap sampai ke ubun-ubun saat membaca kalimat yang terpampang jelas disana.
'REMAS PENTIL PAK LURAH BAMBANG MEMANG MANTAP!'
Kalimat yang dibuat sang adik begitu ambigu. Wajar Pak Ustadz memarahinya, kenapa juga adiknya harus menyingkat kalimat 'Remaja Masjid Pecinta Tahlil' menjadi kata yang amat membingungkan seperti itu. Ia menekuk kertas itu lalu mencubit kuat-kuat lengan sang adik.
"Bocah gemblung!" Setelahnya, suara tangisan kencang memenuhi kediaman Bapak Purnomo.
Baru saja Viku berniat menyusul sang adik, tetapi si tuyul sudah kembali dengan penampilan acak-acakan disertai isak tangisan. Viku sudah terbiasa dengan hal ini, adiknya memang sangat tengil juga jahil, tapi ia gampang sekali dibodohi dan hatinya serapuh kertas usang, orang-orang menyebutnya baperan.
"Kenapa lagi?" Viku bertanya, menatap Dashiell dari atas sampai bawah.
"Kena marah Pak Ustadz!" Dashiell menjawab ketus tanpa melihat sang kakak. Viku meringis, entah apa lagi yang diperbuat oleh adiknya itu.
"Emang kamu ngapain? Udahan dong bandelnya, udah mau gede, ga malu?"
Dashiell menatap tajam sang kakak, ia mengusap kasar airmata yang mengalir dipipinya sembari menyedot kuat-kuat ingusnya hingga berbunyi 'srott'.
"Cil enggak nakal! Acil cuma mau bantuin kakak-kakak di masjid! Acil mau bantuin mereka bikin banner buat lomba! Pas bannernya udah selesai, Cil malah kena marah sama Pak Ustadz gara-gara slogan yang Acil buat! Padahal kakak-kakak udah setuju sama slogan itu. Acil gamau tau, Acil marah sama Pak Ustadz!" Teriaknya.
Viku mengernyit. Menurutnya tidak ada yang salah atas hal itu, tapi mengapa Pak Ustadz marah kepada adiknya?
"Emang slogan apa yang kamu buat?" Viku bertanya was-was.
Dashiell menyodorkan sebuah kertas yang ada ditangannya kepada Viku, Viku baru menyadari bahwa sedari tadi adiknya membawa benda itu. Kertas itu berukuran A3, dengan perlahan Viku membuka gulungan kertas tersebut, banyak coretan warna warni yang Viku yakini berasal dari campuran bermacam-macam jenis krayon, pewarna bibir, dan kutek. Viku mengernyit, rasa geli dan amarah meluap sampai ke ubun-ubun saat membaca kalimat yang terpampang jelas disana.
'REMAS PENTIL PAK LURAH BAMBANG MEMANG MANTAP!'
Kalimat yang dibuat sang adik begitu ambigu. Wajar Pak Ustadz memarahinya, kenapa juga adiknya harus menyingkat kalimat 'Remaja Masjid Pecinta Tahlil' menjadi kata yang amat membingungkan seperti itu. Ia menekuk kertas itu lalu mencubit kuat-kuat lengan sang adik.
"Bocah gemblung!" Setelahnya, suara tangisan kencang memenuhi kediaman Bapak Purnomo.