Dalam perjalanan itu belum ada tanda-tanda perumahan, sisi kiri dan kananku dipenuhi oleh pohon-pohon besar dan kebun. Hanya ada motorku yang melewati jalan itu. Seketika bulu kuduku meremang, jantungku berdegup kencang karena rasa takutku, hingga keringat dingin mulai bercucuran. Bangunan tua yang merupakan gedung bekas pabrik tekstil itu sudah mulai dekat, membuat rasa cemasku semakin menjadi.
"Mas, berhenti di depan, ya."
Deg. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali untuk memastikan kalau pendengaranku tidak salah. Padahal terbukti dari aplikasi driverku kalau kami belum sampai tempat tujuan, dan tempat tujuan itu masih ada beberapa meter lagi. Namun, tiba-tiba motorku mendadak berhenti dan mati tepat di samping gedung tua itu─atau lebih tepatnya di depan pemakaman umum. Aku menghela napas jengkel, di saat seperti ini kenapa motorku tidak bisa diajak kompromi?
Dengan perasaan tidak enak, aku berkata pada penumpangku, "Mbak tujuannya masih ada beberapa meter lagi, tapi motor saya malah mogok. Gapapa kalo diantar sampe sini aja?"
Tidak ada jawaban dari penumpangku. Namun bisa kurasakan kalau ada yang turun dari motor, aku menghela napas guna menetralkan perasaanku yang semakin tidak keruan. Lalu ketika menoleh untuk meminta maaf karena tidak bisa mengantarkan sampai tujuan. Jantungku seolah berhenti berdetak, kakiku lemas.
Tidak ada siapapun di sana...
Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari penumpangku, namun nihil. Tidak ada siapapun di sana, tanganku bergetar lalu mencoba untuk menyalakan motorku yang sialnya tidak mau menyala sama sekali. Perasaanku semakin kalut membuatku panik, yang kupikirakan saat ini; aku ingin segera keluar dari daerah itu sambil terus berdoa agar motorku mau menyala.
Tiba-tiba tercium bau kemenyan yang sangat menyengat, baunya sampai membuat kepalaku pening. Aku masih berusaha menyalakan motorku tapi hasilnya tetap sama, motorku tidak mau menyala.
Lalu terdengar suara dari arah belakangku. "Terima kasih ya Mas Fardan."
Tanpa pikir panjang aku segera turun dari motor dan mendorong motorku sambil menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Terdengar suara cekikikan dari arah belakangku, suara itu seolah terus mengikuti. Aku terus merapalkan doa dalam hati agar sosok itu segera hilang, namun yang kudapat justru sangat mengejutkan. Sosok itu melayang di atas kepalaku lalu berhenti di depan, sontak aku menghentikan langkahku dan refleks menjatuhkan motor karena terkejut.
Aku terpaku menatap makhluk itu. Sosok itu masih memakai baju putih namun terlihat sangat lusuh dengan bercak darah yang terdapat di sekitar bajunya, rambutnya panjang menjuntai sampai kaki, dan yang membuatku semakin lemas adalah wajah dari sosok wanita itu sangat menyeramkan. Bibirnya menganga seperti sobek, kedua matanya hilang membuat mata itu terlihat bolong. Dia tertawa semakin keras lalu melayang perlahan mendekat ke arahku.
Aku berteriak, "JANGAN MENDEKAT!!!"
Tapi sosok itu terus melayang mendekat hingga tubuhku benar-benar lemas dan kesadaranku mulai hilang.
Kurasakan tepukan pelan di pipi membuatku terbangun dan mengerjapkan mata. Aku berbaring di atas tempat tidur, lalu menatap sekeliling ada ayah, ibu, kedua kakakku, dan seorang ustad. Aku menatap mereka dengan bingung, terlihat sosok Ibuku yang terisak pelan. Kepalaku terasa begitu pening.
"Syukurlah kamu sudah bangun, Fardan," ujar ayahku sambil mengulas senyum lega.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi padaku terakhir kali. Namun belum sempat aku berkata sesuatu, suara Ibuku menginterupsi membuatku terkejut sekaligus semakin merasa bingung.
"Kamu ditemukan di halaman gedung tua bekas pabrik tekstil oleh seorang bapak-bapak, Dan. Saat dibawa pulang kamu malah teriak-teriak ingin kembali ke gedung tua itu lalu setelah teriak dan menangis, kamu tidak sadarkan diri selama dua hari."
"Mas, berhenti di depan, ya."
Deg. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali untuk memastikan kalau pendengaranku tidak salah. Padahal terbukti dari aplikasi driverku kalau kami belum sampai tempat tujuan, dan tempat tujuan itu masih ada beberapa meter lagi. Namun, tiba-tiba motorku mendadak berhenti dan mati tepat di samping gedung tua itu─atau lebih tepatnya di depan pemakaman umum. Aku menghela napas jengkel, di saat seperti ini kenapa motorku tidak bisa diajak kompromi?
Dengan perasaan tidak enak, aku berkata pada penumpangku, "Mbak tujuannya masih ada beberapa meter lagi, tapi motor saya malah mogok. Gapapa kalo diantar sampe sini aja?"
Tidak ada jawaban dari penumpangku. Namun bisa kurasakan kalau ada yang turun dari motor, aku menghela napas guna menetralkan perasaanku yang semakin tidak keruan. Lalu ketika menoleh untuk meminta maaf karena tidak bisa mengantarkan sampai tujuan. Jantungku seolah berhenti berdetak, kakiku lemas.
Tidak ada siapapun di sana...
Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari penumpangku, namun nihil. Tidak ada siapapun di sana, tanganku bergetar lalu mencoba untuk menyalakan motorku yang sialnya tidak mau menyala sama sekali. Perasaanku semakin kalut membuatku panik, yang kupikirakan saat ini; aku ingin segera keluar dari daerah itu sambil terus berdoa agar motorku mau menyala.
Tiba-tiba tercium bau kemenyan yang sangat menyengat, baunya sampai membuat kepalaku pening. Aku masih berusaha menyalakan motorku tapi hasilnya tetap sama, motorku tidak mau menyala.
Lalu terdengar suara dari arah belakangku. "Terima kasih ya Mas Fardan."
Tanpa pikir panjang aku segera turun dari motor dan mendorong motorku sambil menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Terdengar suara cekikikan dari arah belakangku, suara itu seolah terus mengikuti. Aku terus merapalkan doa dalam hati agar sosok itu segera hilang, namun yang kudapat justru sangat mengejutkan. Sosok itu melayang di atas kepalaku lalu berhenti di depan, sontak aku menghentikan langkahku dan refleks menjatuhkan motor karena terkejut.
Aku terpaku menatap makhluk itu. Sosok itu masih memakai baju putih namun terlihat sangat lusuh dengan bercak darah yang terdapat di sekitar bajunya, rambutnya panjang menjuntai sampai kaki, dan yang membuatku semakin lemas adalah wajah dari sosok wanita itu sangat menyeramkan. Bibirnya menganga seperti sobek, kedua matanya hilang membuat mata itu terlihat bolong. Dia tertawa semakin keras lalu melayang perlahan mendekat ke arahku.
Aku berteriak, "JANGAN MENDEKAT!!!"
Tapi sosok itu terus melayang mendekat hingga tubuhku benar-benar lemas dan kesadaranku mulai hilang.
Kurasakan tepukan pelan di pipi membuatku terbangun dan mengerjapkan mata. Aku berbaring di atas tempat tidur, lalu menatap sekeliling ada ayah, ibu, kedua kakakku, dan seorang ustad. Aku menatap mereka dengan bingung, terlihat sosok Ibuku yang terisak pelan. Kepalaku terasa begitu pening.
"Syukurlah kamu sudah bangun, Fardan," ujar ayahku sambil mengulas senyum lega.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi padaku terakhir kali. Namun belum sempat aku berkata sesuatu, suara Ibuku menginterupsi membuatku terkejut sekaligus semakin merasa bingung.
"Kamu ditemukan di halaman gedung tua bekas pabrik tekstil oleh seorang bapak-bapak, Dan. Saat dibawa pulang kamu malah teriak-teriak ingin kembali ke gedung tua itu lalu setelah teriak dan menangis, kamu tidak sadarkan diri selama dua hari."