Chapter Four; Sang Dara.
"Dara dengan paras cantik, pemilik oniks hitam bak jelaga... Oniks hitam terindah yang pernah saya tatap." Pria bertopi itu tersenyum. "Siapa?" Tanya pemuda yang menjadi lawan bicaranya selama 2 jam terakhir. Pemuda itu menghela napas. Dia tahu ujung dari obrolan mereka akan selalu berakhir pada topik 'Sang Dara Cantik'.
"Pernahkah saya membahas dara lain, selain dia?" Pria bertopi mengangkat cerutunya, terkekeh pelan. "Saya tidak sanggup. Bahkan hanya dengan memikirkan dara lain... saya tidak sanggup." Topi pria itu makin turun, menutupi wajahnya. "Mengapa?" Lagi-lagi pemuda itu bertanya. Yang ditanya hanya diam. Terdengar suara lonceng gereja, bak mengiringi kepak sayap burung pulang yang menghiasi langit senja.
"Saya masih belum paham mengapa dia begitu istimewa di mata anda." Asap mengepul dari cerutu milik pria bertopi. Pemuda terbatuk dibuatnya. "Kau tidak akan paham sampai kau bertemu dengannya." Pemuda melemaskan pundak, bersandar manja di tembok dengan cat yang sudah usang. "Kalau begitu, dimana dia? Akan kutemui lalu kuberitahu bahwa ada perjaka tua yang selalu resah memikirkannya." Pria bertopi tertawa lepas. Tawa yang tak bisa ditebak apa maksudnya. Pria itu melepas topi besar yang hampir selalu menutupi wajah tampannya. Kemudian dia menatap langit, langit oranye yang terlihat persis seperti langit terakhirnya bersama sang dara.
"Dia disana. Dia terbang. Mengepakkan sayap indahnya bersama para betari, mengitari bumantara. Dia yang membuat langit sore ini begitu indah."
"Dara dengan paras cantik, pemilik oniks hitam bak jelaga... Oniks hitam terindah yang pernah saya tatap." Pria bertopi itu tersenyum. "Siapa?" Tanya pemuda yang menjadi lawan bicaranya selama 2 jam terakhir. Pemuda itu menghela napas. Dia tahu ujung dari obrolan mereka akan selalu berakhir pada topik 'Sang Dara Cantik'.
"Pernahkah saya membahas dara lain, selain dia?" Pria bertopi mengangkat cerutunya, terkekeh pelan. "Saya tidak sanggup. Bahkan hanya dengan memikirkan dara lain... saya tidak sanggup." Topi pria itu makin turun, menutupi wajahnya. "Mengapa?" Lagi-lagi pemuda itu bertanya. Yang ditanya hanya diam. Terdengar suara lonceng gereja, bak mengiringi kepak sayap burung pulang yang menghiasi langit senja.
"Saya masih belum paham mengapa dia begitu istimewa di mata anda." Asap mengepul dari cerutu milik pria bertopi. Pemuda terbatuk dibuatnya. "Kau tidak akan paham sampai kau bertemu dengannya." Pemuda melemaskan pundak, bersandar manja di tembok dengan cat yang sudah usang. "Kalau begitu, dimana dia? Akan kutemui lalu kuberitahu bahwa ada perjaka tua yang selalu resah memikirkannya." Pria bertopi tertawa lepas. Tawa yang tak bisa ditebak apa maksudnya. Pria itu melepas topi besar yang hampir selalu menutupi wajah tampannya. Kemudian dia menatap langit, langit oranye yang terlihat persis seperti langit terakhirnya bersama sang dara.
"Dia disana. Dia terbang. Mengepakkan sayap indahnya bersama para betari, mengitari bumantara. Dia yang membuat langit sore ini begitu indah."