ㅤㅤHari sudah semakin sore, mereka bertiga memutuskan untuk berpindah tempat ke apartemen Jova. Ralat, bukan bertiga. Melainkan hanya berdua. Yuan memutuskan untuk berbelok pulang ke rumah karena ia harus mengantarkan adiknya kursus menari. Mungkin itu hanya sebuah alasan. Yuan membiarkan kedua sejoli itu bertukar kerinduan.
ㅤㅤHawa dingin memang sangat cocok dihangatkan dengan pelukan. Apalagi pelukan dari seseorang yang sangat kita sayangi.
ㅤㅤ"Mulai sekarang panggil aku Nara ya."
ㅤㅤYa, sekarang Jova sudah meyakinkan dirinya bahwa orang yang sedang memeluknya posesif ini adalah Bian. Menjalin hubungan selama dua tahun lebih jelas tidak membuat Jova melupakan segala tingkah Bian. Ketika Bian marah, senang, sedih, cemburu pun Jova hafal betul.
ㅤㅤ"Hum? memangnya kenapa? Kamu kan Bian." Balas Jova. Ia sedikit terpesona dengan suara si Bian ini. Sedikit husky dari suara yang biasanya ketus dulu. Yaa, sekarang raga mereka berbeda. Jova jadi merasa sangat mini saat ini.
ㅤㅤ"Aku sekarang Nara sayang, bukan Bian lagi. Yaa, walaupun aku ini memang Bian. Tapi sudah berbeda lagi sekarang." Balasnya. Tangannya tak henti henti mengusap pipi Jova yang dirasa sedikit menyusut dari biasanya. Entah benar menyusut atau mungkin faktor ukuran telapak tangannya yang lebih besar. Jova terkekeh pelan.
ㅤㅤ"Yayaya, lalu keluargamu bagaimana? Apa kau akan mengunjungi mereka? Mereka sangat sedih.." Cicit Jova. Kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Dimana saat ibu Bian tak henti-hentinya menangis. Bahkan sempat pingsan.
ㅤㅤNara berfikir sejenak. Akan sangat rumit jika ia mengunjungi keluarganya. Ia merindukan mereka, sangat. Tapi akan terlalu susah untuk meyakinkan mereka. Biarlah begini saja keadaannya sekarang.
ㅤㅤ"Uhmm, kurasa tidak perlu." Jawab Nara. Jova mendongakkan kepalanya, menatap Nara.
ㅤㅤ"Why?"
ㅤㅤNara tersenyum manis. Kekasihnya ini selalu membuatnya merasa gemas. Ia bersyukur bisa mendapat perpanjangan waktu untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya.
ㅤㅤ"Aku jauh-jauh datang dari Brisbane kesini hanya untukmu sayang, bukan yang lain. Hanya dirimu saja." Ah, Nara malas membahas keluarganya, ia hanya ingin Jova. Pipi Jova berangsur merah setelah mendengar kalimat itu. Setelah hampir sebulan dirinya selalu murung, sekarang kembali ceria lagi. Nara ikut tersenyum melihat Jova yang tersipu.
ㅤㅤ"Lalu orang tua Nara? Bagaimana mereka?" Jova kembali bertanya. Berusaha menetralkan kembali detak jantungnya yang tidak sabaran dengan pertanyaan yang lain.
ㅤㅤ"Oh mereka, haha aku berbohong kepada mereka." Jawabnya. Jova memiringkan kepalanya bingung.
ㅤㅤ"Setelah aku sadar, aku hanya diam seperti orang bisu. Mengangguk dan menggeleng saja. Toh, mereka tidak akan curiga. Mereka pasti berfikir kalau aku belum benar-benar fit." Sambungnya.
ㅤㅤ"Ah, benar juga. Lalu kamu kesini sendiri? Naik apa? Tidur dimana humm?" Tanya Jova lagi, belum puas dengan pertanyaan sebelumnya.
ㅤㅤ"Saat tiba di rumah mereka, aku terpesona karena ayah Nara ternyata seorang direktur, dan ibunya guru bahasa Prancis di Paris. Mereka anggota konglomerat." Jelasnya. Jova mengangguk paham.
ㅤㅤ"Lalu di saat yang tepat, aku mengambil salah satu kunci mobil dan kabur ke Sydney. Untung aku bisa menyetir." Lanjutnya lagi.
ㅤㅤMungkin salah anggapan Jova kalau mereka tidak berjodoh. Nyatanya, semesta kembali mempertemukan mereka. Dengan raga yang berbeda, namun dia tetap jiwa Bian yang Jova cintai.
ㅤㅤ"Mereka pasti khawatir, kembalilah kesana." Ujar Jova. Nara membelalakkan matanya tidak percaya dengan ucapan Jova.
ㅤㅤHawa dingin memang sangat cocok dihangatkan dengan pelukan. Apalagi pelukan dari seseorang yang sangat kita sayangi.
ㅤㅤ"Mulai sekarang panggil aku Nara ya."
ㅤㅤYa, sekarang Jova sudah meyakinkan dirinya bahwa orang yang sedang memeluknya posesif ini adalah Bian. Menjalin hubungan selama dua tahun lebih jelas tidak membuat Jova melupakan segala tingkah Bian. Ketika Bian marah, senang, sedih, cemburu pun Jova hafal betul.
ㅤㅤ"Hum? memangnya kenapa? Kamu kan Bian." Balas Jova. Ia sedikit terpesona dengan suara si Bian ini. Sedikit husky dari suara yang biasanya ketus dulu. Yaa, sekarang raga mereka berbeda. Jova jadi merasa sangat mini saat ini.
ㅤㅤ"Aku sekarang Nara sayang, bukan Bian lagi. Yaa, walaupun aku ini memang Bian. Tapi sudah berbeda lagi sekarang." Balasnya. Tangannya tak henti henti mengusap pipi Jova yang dirasa sedikit menyusut dari biasanya. Entah benar menyusut atau mungkin faktor ukuran telapak tangannya yang lebih besar. Jova terkekeh pelan.
ㅤㅤ"Yayaya, lalu keluargamu bagaimana? Apa kau akan mengunjungi mereka? Mereka sangat sedih.." Cicit Jova. Kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Dimana saat ibu Bian tak henti-hentinya menangis. Bahkan sempat pingsan.
ㅤㅤNara berfikir sejenak. Akan sangat rumit jika ia mengunjungi keluarganya. Ia merindukan mereka, sangat. Tapi akan terlalu susah untuk meyakinkan mereka. Biarlah begini saja keadaannya sekarang.
ㅤㅤ"Uhmm, kurasa tidak perlu." Jawab Nara. Jova mendongakkan kepalanya, menatap Nara.
ㅤㅤ"Why?"
ㅤㅤNara tersenyum manis. Kekasihnya ini selalu membuatnya merasa gemas. Ia bersyukur bisa mendapat perpanjangan waktu untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya.
ㅤㅤ"Aku jauh-jauh datang dari Brisbane kesini hanya untukmu sayang, bukan yang lain. Hanya dirimu saja." Ah, Nara malas membahas keluarganya, ia hanya ingin Jova. Pipi Jova berangsur merah setelah mendengar kalimat itu. Setelah hampir sebulan dirinya selalu murung, sekarang kembali ceria lagi. Nara ikut tersenyum melihat Jova yang tersipu.
ㅤㅤ"Lalu orang tua Nara? Bagaimana mereka?" Jova kembali bertanya. Berusaha menetralkan kembali detak jantungnya yang tidak sabaran dengan pertanyaan yang lain.
ㅤㅤ"Oh mereka, haha aku berbohong kepada mereka." Jawabnya. Jova memiringkan kepalanya bingung.
ㅤㅤ"Setelah aku sadar, aku hanya diam seperti orang bisu. Mengangguk dan menggeleng saja. Toh, mereka tidak akan curiga. Mereka pasti berfikir kalau aku belum benar-benar fit." Sambungnya.
ㅤㅤ"Ah, benar juga. Lalu kamu kesini sendiri? Naik apa? Tidur dimana humm?" Tanya Jova lagi, belum puas dengan pertanyaan sebelumnya.
ㅤㅤ"Saat tiba di rumah mereka, aku terpesona karena ayah Nara ternyata seorang direktur, dan ibunya guru bahasa Prancis di Paris. Mereka anggota konglomerat." Jelasnya. Jova mengangguk paham.
ㅤㅤ"Lalu di saat yang tepat, aku mengambil salah satu kunci mobil dan kabur ke Sydney. Untung aku bisa menyetir." Lanjutnya lagi.
ㅤㅤMungkin salah anggapan Jova kalau mereka tidak berjodoh. Nyatanya, semesta kembali mempertemukan mereka. Dengan raga yang berbeda, namun dia tetap jiwa Bian yang Jova cintai.
ㅤㅤ"Mereka pasti khawatir, kembalilah kesana." Ujar Jova. Nara membelalakkan matanya tidak percaya dengan ucapan Jova.