Songfiction by Maram.
Song: Akhir tak bahagia ft; Satu Tuju.
Kami bertemu di kota sejuta kenangan, Bandung. Di mana, saat itu saya sedang melakukan aktivitas seperti biasanya, pergi ke kafe teman dekat saya, lalu membeli beberapa menu yang ada di sana kemudian duduk menikmati sore hari yang mulai meredum.
Lonceng kafe berbunyi, dan saat itulah saya menemukan seseorang yang kini sudah tidak bisa saya gapai lagi. Rasanya sesak jika harus mengingat masa lalu, namun apa daya, ingatan manusia tidak seperti sebuah flashdisk yang bisa diulang ke semula kembali.
“Kamu ga apa-apa? Perlu bantuan?” tanyanya dengan suara lembut nan khas yang sampai sekarang masih terngiang di telinga saya.
“Me? Oh, fine.” Jawab saya berbohong, padahal seisi pikiran saat itu sedang memikirkan bagaimana caranya untuk mengembalikan kedua orang tua saya yang hendak berpisah.
“Boleh duduk di sini?” tanya dia lagi dan saya pun hanya mengangguk kemudian dia pun duduk di kursi depan saya.
Hening, tak ada obrolan, ingin membuka pembicaraan namun saya terlalu malu untuk memulai. Di luar ekspetasi, justru dialah yang mengajak saya untuk berbincang sejenak. Ternyata nasibnya tak jauh berbeda dengan saya. Oh, ayolah Maram, kamu tidak boleh membandingkan nasibmu sendiri dengan orang lain.
“Aku lupa caranya untuk berteman. Jadi, to the point, aku boleh jadi temanmu ngga?” tanya saya yang sedikit gugup. Kalau diingat-ingat, itu adalah moment yang sangat memalukan, hahaha.
“Kenapa engga? Bahkan aku sudah menganggapmu sebagai teman ketika aku baru saja duduk di kursi yang ada di depanmu ini. Salam kenal ya,” jawabnya dan sejak itu, kita berdua pun mulai berteman.
Waktu berlalu, pertemanan itu semakin dekat rasanya. Tapi, sepertinya saya keliru. Dia mulai mengacuhkan saya, dia tidak pernah mau menceritakan tentang dirinya, tidak tau kenapa tapi saya juga tidak bisa memaksanya untuk bicara.
Sampai hasil dari semua pikiran yang saya pikirkan sejak awal sudah ada, saya pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saya di Toronto, Kanada. Berat hati rasanya ketika hendak pergi ke rumah teman saya itu untuk sekedar berpamitan saja. Saya ingin berterima kasih kepadanya karena sudah menemani saya saat masa terpuruk kala itu terjadi.
Setibanya saya di rumahnya, terlihat rumah itu kosong, tampak tidak ada penghuni sama sekali. Tapi untunglah, ada seorang gadis yang keluar dari pagar rumahnya. Saya pun langsung menghampirinya dan kemudian bertanya, di mana keberadaan teman saya itu sekarang. Sedikit aneh batin saya terasa, gadis itu terlihat memakai pakaian serba hitam dan matanya yang sedikit sembab.
Song: Akhir tak bahagia ft; Satu Tuju.
Kami bertemu di kota sejuta kenangan, Bandung. Di mana, saat itu saya sedang melakukan aktivitas seperti biasanya, pergi ke kafe teman dekat saya, lalu membeli beberapa menu yang ada di sana kemudian duduk menikmati sore hari yang mulai meredum.
Lonceng kafe berbunyi, dan saat itulah saya menemukan seseorang yang kini sudah tidak bisa saya gapai lagi. Rasanya sesak jika harus mengingat masa lalu, namun apa daya, ingatan manusia tidak seperti sebuah flashdisk yang bisa diulang ke semula kembali.
“Kamu ga apa-apa? Perlu bantuan?” tanyanya dengan suara lembut nan khas yang sampai sekarang masih terngiang di telinga saya.
“Me? Oh, fine.” Jawab saya berbohong, padahal seisi pikiran saat itu sedang memikirkan bagaimana caranya untuk mengembalikan kedua orang tua saya yang hendak berpisah.
“Boleh duduk di sini?” tanya dia lagi dan saya pun hanya mengangguk kemudian dia pun duduk di kursi depan saya.
Hening, tak ada obrolan, ingin membuka pembicaraan namun saya terlalu malu untuk memulai. Di luar ekspetasi, justru dialah yang mengajak saya untuk berbincang sejenak. Ternyata nasibnya tak jauh berbeda dengan saya. Oh, ayolah Maram, kamu tidak boleh membandingkan nasibmu sendiri dengan orang lain.
“Aku lupa caranya untuk berteman. Jadi, to the point, aku boleh jadi temanmu ngga?” tanya saya yang sedikit gugup. Kalau diingat-ingat, itu adalah moment yang sangat memalukan, hahaha.
“Kenapa engga? Bahkan aku sudah menganggapmu sebagai teman ketika aku baru saja duduk di kursi yang ada di depanmu ini. Salam kenal ya,” jawabnya dan sejak itu, kita berdua pun mulai berteman.
Waktu berlalu, pertemanan itu semakin dekat rasanya. Tapi, sepertinya saya keliru. Dia mulai mengacuhkan saya, dia tidak pernah mau menceritakan tentang dirinya, tidak tau kenapa tapi saya juga tidak bisa memaksanya untuk bicara.
Sampai hasil dari semua pikiran yang saya pikirkan sejak awal sudah ada, saya pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saya di Toronto, Kanada. Berat hati rasanya ketika hendak pergi ke rumah teman saya itu untuk sekedar berpamitan saja. Saya ingin berterima kasih kepadanya karena sudah menemani saya saat masa terpuruk kala itu terjadi.
Setibanya saya di rumahnya, terlihat rumah itu kosong, tampak tidak ada penghuni sama sekali. Tapi untunglah, ada seorang gadis yang keluar dari pagar rumahnya. Saya pun langsung menghampirinya dan kemudian bertanya, di mana keberadaan teman saya itu sekarang. Sedikit aneh batin saya terasa, gadis itu terlihat memakai pakaian serba hitam dan matanya yang sedikit sembab.