“Kamu Maram bukan? Temanku bilang dia punya teman lelaki yang namanya Maram,” tanyanya dan saya pun mengangguk.
“Oh ... aku cuma mau bilang, dia sudah pergi. Kamu yang sabar lalu do'akan dia saja agar diterima di sisi-Nya ya? Ini ada surat darinya yang dititipkan kepadaku untuk kamu. Operasi jantungnya gagal malam tadi. Aku juga merasa kehilangan, begitu juga kamu. Mungkin,” ucap gadis itu yang tidak bisa saya percaya sama sekali.
Dada saya sesak, sesak karena sebuah fakta bahwa teman yang sudah saya anggap sebagai segalanya enggan memberitaukan semua ini. Saya tidak marah, saya hanya kecewa hingga rasa kecewa itu berubah menjadi rasa kehilangan yang sangat mendalam.
Saya ambil surat itu kemudian pamit dari sana. Gadis itu memberitaukan saya di mana dia akan dimakamkan namun sayang, jadwal penerbangan saya tidak bisa ditunda maupun dibatalkan.
Surat itu terlipat rapih digenggaman saya saat itu, langkah saya terasa berat rasanya karena tidak bisa berada menemaninya sampai ia sudah beristirahat tenang di atas sana. Saya merasa gagal karena membuat dia berjuang tanpa adanya semangat dari saya.
Walaupun mungkin dia tidak membutuhkan semangat dari saya, tapi saya tidak perduli, saya akan tetap menyemangatinya, membantunya, dan apapun yang dia inginkan untuk bisa bahagia kembali.
Namun lagi-lagi sayang, semua sudah usai. Andai saja dia tidak menerima permintaan pertemanan saya saat itu, saya tidak akan sampai sejauh ini.
Temanku, suratnya sudah saya baca. Di tengah heningnya pesawat yang sedang terbang menuju kota kelahiran saya, Toronto.
Ternyata semua rasa kekeliruan saya terjawab, dia tidak berniat mengacuhkan saya, dia hanya berniat untuk enggan merepotkan saya karena saat itu kondisi saya sedang terpuruk dan sedang sangat membutuhkan semangat dan dorongan dari orang lain.
Kini, saya hanya bisa memandang pigura foto yang berisi foto saya dengannya ketika sedang bermain bersama kala itu. Rasa sayang saya untuk kamu tidak akan pernah pudar, begitu juga dengan rasa rindu saya, istirahat yang tenang anak baik. Dari Maram, untuk Teman satu tuju tersayang saya.
“Oh ... aku cuma mau bilang, dia sudah pergi. Kamu yang sabar lalu do'akan dia saja agar diterima di sisi-Nya ya? Ini ada surat darinya yang dititipkan kepadaku untuk kamu. Operasi jantungnya gagal malam tadi. Aku juga merasa kehilangan, begitu juga kamu. Mungkin,” ucap gadis itu yang tidak bisa saya percaya sama sekali.
Dada saya sesak, sesak karena sebuah fakta bahwa teman yang sudah saya anggap sebagai segalanya enggan memberitaukan semua ini. Saya tidak marah, saya hanya kecewa hingga rasa kecewa itu berubah menjadi rasa kehilangan yang sangat mendalam.
Saya ambil surat itu kemudian pamit dari sana. Gadis itu memberitaukan saya di mana dia akan dimakamkan namun sayang, jadwal penerbangan saya tidak bisa ditunda maupun dibatalkan.
Surat itu terlipat rapih digenggaman saya saat itu, langkah saya terasa berat rasanya karena tidak bisa berada menemaninya sampai ia sudah beristirahat tenang di atas sana. Saya merasa gagal karena membuat dia berjuang tanpa adanya semangat dari saya.
Walaupun mungkin dia tidak membutuhkan semangat dari saya, tapi saya tidak perduli, saya akan tetap menyemangatinya, membantunya, dan apapun yang dia inginkan untuk bisa bahagia kembali.
Namun lagi-lagi sayang, semua sudah usai. Andai saja dia tidak menerima permintaan pertemanan saya saat itu, saya tidak akan sampai sejauh ini.
Temanku, suratnya sudah saya baca. Di tengah heningnya pesawat yang sedang terbang menuju kota kelahiran saya, Toronto.
Ternyata semua rasa kekeliruan saya terjawab, dia tidak berniat mengacuhkan saya, dia hanya berniat untuk enggan merepotkan saya karena saat itu kondisi saya sedang terpuruk dan sedang sangat membutuhkan semangat dan dorongan dari orang lain.
Kini, saya hanya bisa memandang pigura foto yang berisi foto saya dengannya ketika sedang bermain bersama kala itu. Rasa sayang saya untuk kamu tidak akan pernah pudar, begitu juga dengan rasa rindu saya, istirahat yang tenang anak baik. Dari Maram, untuk Teman satu tuju tersayang saya.