Viku menyerah. Ia berkacak pinggang menatap si tuyul yang sedang berdiri dihadapannya dengan senyum lebar, memamerkan gigi-gigi susu miliknya. Dashiell namanya, bocah yang paling tengil sekampung halaman, yang sialnya adik kandungnya.
"Mbak, Cil boleh pinjem kuteknya?" Namanya memang Dashiell, tapi orang-orang lebih suka memanggilnya Acil. Karena nama Dashiell terlalu kebarat-baratan untuk bocah edan sepertinya.
Bapak mereka yang memberi nama, katanya nama itu sangat keren, cocok untuk sang putra. Bapak bilang kalau Dashiell akan tumbuh menjadi pria gagah seperti James Bond. Ternyata memang iya, Dashiell tumbuh menjadi seorang James Bon, alias 'jaga mesjid ama kebon'.
Viku memutar bola matanya malas, sudah seminggu ini Dashiell meminjam barang-barang miliknya, sebenarnya Viku tidak mempermasalahkan hal itu, tapi barang yang dipinjam Dashiell adalah barang-barang yang digunakan oleh wanita. Ia curiga kalau adik kecilnya ini punya kekasih wanita, atau lebih parahnya adiknya ini bermain dengan para waria di kampung tetangga.
"Buat apa lagi? Kemarin kamu udah ngabisin liptint punya mbak, loh. Terus semalem kamu pinjem..." Viku menghentikan ucapannya. Dia menunduk dan memicing menatap curiga sang adik, "... jangan-jangan kamu punya pacar, yo? Mbak bilangin ibuk, loh. masih kecil pacar-pacaran."
"Ya allah, Mbak. Gak boleh suudzon sama adekmu ini. Aku sadar kok aku belum baligh, makanya aku gak mau punya pacar dulu." Dashiell menggeleng pelan, sebagai lelaki sejati yang sudah menghafalkan seluruh isi dasa dharma pramuka dan hukum keagamaan yang ada, ia tak mau harga dirinya dipandang rendah hanya karena memacari anak dibawah umur. Walau dirinya sendiri masih dibawah umur.
"Cepetan! Mana kuteknya?" Sungut Dashiell. Sesekali ia mengusap ingus yang keluar dari hidungnya menggunakan sarung yang tersampir dibahunya. Mengundang pelototan dari Viku.
"Heh! Jangan diusap pake sarung, najis! Mbak capek-capek nyuci malah kamu buat elap ingus!" Viku menarik tangan Dashiell untuk menjauh dari hidungnya, yang hanya dibalas cengiran oleh sang empunya.
Viku masuk kembali ke kamarnya, mengambil dua buah kutek berwarna merah dan biru tua. Setelahnya ia berikan kutek itu ke adiknya. Dashiell menerima kutek itu dengan mata yang berbinar-binar. Setelah mengucap puluhan kata terimakasih untuk mbak tercintanya, Dashiell melenggang keluar dari rumah.
"Aku main dulu, Mbak! Nggak main sama mas bencong kok!" teriaknya lalu berlari meninggalkan rumah.
Sekarang tujuan utamanya adalah masjid kecil yang ada di depan rumah pak Lurah. Disana sudah banyak anak seusianya yang sedang duduk didepan pintu masjid. Dashiell diam, matanya menelisik barang-barang yang dibawa teman-temannya. Senyum lebar terpancar diwajah buluknya saat melihat barang yang dibawa mereka semua. Lengkap!
"Assalamualaikum!" Suara cempreng khas anak-anak miliknya terdengar lantang, bahkan menggema sampai ke dalam ruangan. Dashiell melepas sandal dan menghampiri teman-temannya. Sebagai calon lelaki pujaan hati yang punya jiwa kepemimpinan tinggi, Dashiell mulai membimbing teman-temannya untuk menciptakan sebuah karya yang luar biasa. Dashiell memang seorang anak yang punya banyak bakat, bakat terpendam yang seharusnya dipendam.
"Mbak, Cil boleh pinjem kuteknya?" Namanya memang Dashiell, tapi orang-orang lebih suka memanggilnya Acil. Karena nama Dashiell terlalu kebarat-baratan untuk bocah edan sepertinya.
Bapak mereka yang memberi nama, katanya nama itu sangat keren, cocok untuk sang putra. Bapak bilang kalau Dashiell akan tumbuh menjadi pria gagah seperti James Bond. Ternyata memang iya, Dashiell tumbuh menjadi seorang James Bon, alias 'jaga mesjid ama kebon'.
Viku memutar bola matanya malas, sudah seminggu ini Dashiell meminjam barang-barang miliknya, sebenarnya Viku tidak mempermasalahkan hal itu, tapi barang yang dipinjam Dashiell adalah barang-barang yang digunakan oleh wanita. Ia curiga kalau adik kecilnya ini punya kekasih wanita, atau lebih parahnya adiknya ini bermain dengan para waria di kampung tetangga.
"Buat apa lagi? Kemarin kamu udah ngabisin liptint punya mbak, loh. Terus semalem kamu pinjem..." Viku menghentikan ucapannya. Dia menunduk dan memicing menatap curiga sang adik, "... jangan-jangan kamu punya pacar, yo? Mbak bilangin ibuk, loh. masih kecil pacar-pacaran."
"Ya allah, Mbak. Gak boleh suudzon sama adekmu ini. Aku sadar kok aku belum baligh, makanya aku gak mau punya pacar dulu." Dashiell menggeleng pelan, sebagai lelaki sejati yang sudah menghafalkan seluruh isi dasa dharma pramuka dan hukum keagamaan yang ada, ia tak mau harga dirinya dipandang rendah hanya karena memacari anak dibawah umur. Walau dirinya sendiri masih dibawah umur.
"Cepetan! Mana kuteknya?" Sungut Dashiell. Sesekali ia mengusap ingus yang keluar dari hidungnya menggunakan sarung yang tersampir dibahunya. Mengundang pelototan dari Viku.
"Heh! Jangan diusap pake sarung, najis! Mbak capek-capek nyuci malah kamu buat elap ingus!" Viku menarik tangan Dashiell untuk menjauh dari hidungnya, yang hanya dibalas cengiran oleh sang empunya.
Viku masuk kembali ke kamarnya, mengambil dua buah kutek berwarna merah dan biru tua. Setelahnya ia berikan kutek itu ke adiknya. Dashiell menerima kutek itu dengan mata yang berbinar-binar. Setelah mengucap puluhan kata terimakasih untuk mbak tercintanya, Dashiell melenggang keluar dari rumah.
"Aku main dulu, Mbak! Nggak main sama mas bencong kok!" teriaknya lalu berlari meninggalkan rumah.
Sekarang tujuan utamanya adalah masjid kecil yang ada di depan rumah pak Lurah. Disana sudah banyak anak seusianya yang sedang duduk didepan pintu masjid. Dashiell diam, matanya menelisik barang-barang yang dibawa teman-temannya. Senyum lebar terpancar diwajah buluknya saat melihat barang yang dibawa mereka semua. Lengkap!
"Assalamualaikum!" Suara cempreng khas anak-anak miliknya terdengar lantang, bahkan menggema sampai ke dalam ruangan. Dashiell melepas sandal dan menghampiri teman-temannya. Sebagai calon lelaki pujaan hati yang punya jiwa kepemimpinan tinggi, Dashiell mulai membimbing teman-temannya untuk menciptakan sebuah karya yang luar biasa. Dashiell memang seorang anak yang punya banyak bakat, bakat terpendam yang seharusnya dipendam.