“KOBAR CITTA BAGI KSATRIA”
Aku kesini untuk kembali bersama rindu yang sepertinya sudah terjerat mati, mengurai kenangan yang mendera menjelma puisi. Aku terselap menghitung seberapa banyak hari yang membuatku fasih menyebutmu sebagai milikku, seingatku itu cukup singkat namun melekat—bagiku. Dan, aku masih ingat.
Aku masih ingat kecupan hangatmu pada langit yang akan menjemput senja bersama angka kilometer yang kita tempuh sebagai saksi.
Aku masih ingat disepanjang jalan yang dipenuhi hiruk pikuk kota, tanpa ragu kedua tanganku mendekap tubuhmu.
Gugup, itulah kata yang keluar dari gerak tubuhmu. Senang kah? Atau malu kah? Ku cari tahu jawabannya, berhasil menciptakan semburat merah dipipiku.
Aku masih ingat seberapa lincahnya jemarimu menautkannya dengan milikku, menepis batas dan tak ingin lepas.
Aku masih ingat dahulu aku terbiasa menyematkan kesepian pada larutnya malam, namun sempat kau ganti dengan gema suaramu: berbincang diiringi tawa yang penuh cinta.
Aku masih ingat raut kekhawatiran jelas tercetak di wajahmu tetapi kamu berusaha menenangkanku disaat jiwaku rapuh dan pikiranku tak hentinya berbicara dengan riuh; aku hampir gila.
Aku masih, masih disini dengan sisa kisah yang telah usai disaat kamu sudah menemukan pengganti.
— celotehan waktu
#literasiduasatu
Aku kesini untuk kembali bersama rindu yang sepertinya sudah terjerat mati, mengurai kenangan yang mendera menjelma puisi. Aku terselap menghitung seberapa banyak hari yang membuatku fasih menyebutmu sebagai milikku, seingatku itu cukup singkat namun melekat—bagiku. Dan, aku masih ingat.
Aku masih ingat kecupan hangatmu pada langit yang akan menjemput senja bersama angka kilometer yang kita tempuh sebagai saksi.
Aku masih ingat disepanjang jalan yang dipenuhi hiruk pikuk kota, tanpa ragu kedua tanganku mendekap tubuhmu.
Gugup, itulah kata yang keluar dari gerak tubuhmu. Senang kah? Atau malu kah? Ku cari tahu jawabannya, berhasil menciptakan semburat merah dipipiku.
Aku masih ingat seberapa lincahnya jemarimu menautkannya dengan milikku, menepis batas dan tak ingin lepas.
Aku masih ingat dahulu aku terbiasa menyematkan kesepian pada larutnya malam, namun sempat kau ganti dengan gema suaramu: berbincang diiringi tawa yang penuh cinta.
Aku masih ingat raut kekhawatiran jelas tercetak di wajahmu tetapi kamu berusaha menenangkanku disaat jiwaku rapuh dan pikiranku tak hentinya berbicara dengan riuh; aku hampir gila.
Aku masih, masih disini dengan sisa kisah yang telah usai disaat kamu sudah menemukan pengganti.
— celotehan waktu
#literasiduasatu