Prolog — Percakapan Tengah Malam.
Boy, jadinya kamu mau gimana? "Tanya ayah, Jendral yang merasa di ajak bicara pun tersentak. Karena sedari tadi ia sedang menikmati angin malam di teras rumahnya sendirian.
Jendral hanya diam, ia dilema. Hela nafas keluar dari mulutnya. "Aku juga nggak tahu, yah." Ucapnya dengan kelapa yang ditundukan.
Ayah menghela nafasnya, merangkul puteranya yang sedang dilema karena ditolak dari sekolah yang ia ingin inginkan. "Nggak apa boy, masih ada tahap dua, kalau kamu memang benar benar mau sekolah di sana, kita bisa ambil tahap dua."
Jendral yang mendengar itu langsung menoleh ke ayahnya, menatap ayah tak yakin. "Kalau tahap dua sudah pasti harus pakai uang kan, yah?" Tanya Jen.
Ayah mengangguk mendengarnya "Iya, ayah sanggup kok." Ucap ayah menatap Jen yakin.
"Ayah memang sanggup, tapi aku takut aku yang nggak sanggup, aku takut ayah yang sudah bayar mahal mahal untuk sekolah ku, tapi aku yang gak bisa fokus belajar dan kena kasus seperti kemarin kemarin." Ucap Jendral, diakhir kalimatnya suaranya ia kecilkan.
Lagi-lagi ayah menghela nafasnya, menatap putra satu-satunya dengan serius "Boy, kalau memang kamu serius dengan apa yang kamu mau kamu nggak akan ragu seperti ini." Ayah menjeda ucapannya, menatap Jendral dengan sangat serius. "Ini artinya kamu belum serius, boy. Kamu masih memiliki pikiran ke sekolah itu untuk main." Lanjut ayah, Jen yang mendengarnya mati kutu, ia tak berani menatap ayahnya.
"Aku cuma takut yah, aku.." Jendral menghela nafasnya, bingung harus mengatakan apa lagi, yang dikatakan ayahnya memang benar, tapi juga tidak sepenuhnya benar, bagaimanapun ia seorang pelajar, pasti masi ada rasa tanggung jawab dalam dirinya sebagai pelajar, tapi dilubuk hatinya masih memikirkan tentang sekolah yang menyenangkan. Jen tahu, ayahnya pasti sanggup membiayai pendidikannya, tapi Jen juga tahu bagaimana dirinya, ia takut jika ayah sudah bayar sekolahnya dengan begitu mahal, ia yang terhanyut terbawa pergaulan dan tak fokus belajar.
"Jadi kamu mau gimana, boy?" Tanya ayah lagi.
Jendral menggelengkan kepalanya, sudah tidak tahu harus menjawab apa lagi, lemas sekali dirinya.
"Dasar remaja, mau sekolah aja se pusing ini kamu boy." Ayah terkekeh. "Gimana kalau kamu sekolah di tempat paman mu aja, boy?" Jendral yang mendengar itu menoleh ke arah ayah.
"Di tempat paman?" Tanya Jen, ayah manggut-manggut mendengar pertanyaan dari Jen. "Bukannya kalau tempat paman itu SMK?" Tanya Jen lagi.
Ayah yang di tanya oleh Jen kembali mengangguk. "Iya boy. Di sana ada tiga jurusan, ada Teknik Elektronika, Akuntansi sama Teknik Kendaraan Ringan."
Jendral mengangguk mendengarnya, ia kembali bertanya ke ayahnya. "Itu sekolah Negeri kan yah?"
"Iya lah, kan kamu yang nggak mau sekolah di sekolah swasta." Jawab ayah. "Jadinya, kamu mau gak boy?" Tanya ayah lagi, Jen yang di tanya hanya bisa diam.
Ayah menepuk pundak puteranya dua kali. "Yaudah, kamu pikirkan dulu baik baik, jangan paksa dirimu kalau memang gak mau, oke?" Jendral yang mendengarnya-pun hanya mengangguk lagi. "Ayah ke dalam dulu, ngantuk. Kamu jangan tidur kemalaman." Final ayah sambil melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Iya yah, aman." Ucap Jendral, dirasanya dirinya sudah kembali sendirian, hela napas kembali terdengar. "Welcome to bersekolah di sekolah yang nggak lo mau." Ucap Jendral menatap langit tanpa bintang. "Goblok." Umpatan dan makian terlontar dari mulutnya.
"Nggak apa lah, asu. Dari pada sekolah di SMA tapi gue yang gak jelas, mending sekolah di tempat paman, ya itung-itung pakai orang dalam." Kekehan kecil terdengar dari mulutnya.
Boy, jadinya kamu mau gimana? "Tanya ayah, Jendral yang merasa di ajak bicara pun tersentak. Karena sedari tadi ia sedang menikmati angin malam di teras rumahnya sendirian.
Jendral hanya diam, ia dilema. Hela nafas keluar dari mulutnya. "Aku juga nggak tahu, yah." Ucapnya dengan kelapa yang ditundukan.
Ayah menghela nafasnya, merangkul puteranya yang sedang dilema karena ditolak dari sekolah yang ia ingin inginkan. "Nggak apa boy, masih ada tahap dua, kalau kamu memang benar benar mau sekolah di sana, kita bisa ambil tahap dua."
Jendral yang mendengar itu langsung menoleh ke ayahnya, menatap ayah tak yakin. "Kalau tahap dua sudah pasti harus pakai uang kan, yah?" Tanya Jen.
Ayah mengangguk mendengarnya "Iya, ayah sanggup kok." Ucap ayah menatap Jen yakin.
"Ayah memang sanggup, tapi aku takut aku yang nggak sanggup, aku takut ayah yang sudah bayar mahal mahal untuk sekolah ku, tapi aku yang gak bisa fokus belajar dan kena kasus seperti kemarin kemarin." Ucap Jendral, diakhir kalimatnya suaranya ia kecilkan.
Lagi-lagi ayah menghela nafasnya, menatap putra satu-satunya dengan serius "Boy, kalau memang kamu serius dengan apa yang kamu mau kamu nggak akan ragu seperti ini." Ayah menjeda ucapannya, menatap Jendral dengan sangat serius. "Ini artinya kamu belum serius, boy. Kamu masih memiliki pikiran ke sekolah itu untuk main." Lanjut ayah, Jen yang mendengarnya mati kutu, ia tak berani menatap ayahnya.
"Aku cuma takut yah, aku.." Jendral menghela nafasnya, bingung harus mengatakan apa lagi, yang dikatakan ayahnya memang benar, tapi juga tidak sepenuhnya benar, bagaimanapun ia seorang pelajar, pasti masi ada rasa tanggung jawab dalam dirinya sebagai pelajar, tapi dilubuk hatinya masih memikirkan tentang sekolah yang menyenangkan. Jen tahu, ayahnya pasti sanggup membiayai pendidikannya, tapi Jen juga tahu bagaimana dirinya, ia takut jika ayah sudah bayar sekolahnya dengan begitu mahal, ia yang terhanyut terbawa pergaulan dan tak fokus belajar.
"Jadi kamu mau gimana, boy?" Tanya ayah lagi.
Jendral menggelengkan kepalanya, sudah tidak tahu harus menjawab apa lagi, lemas sekali dirinya.
"Dasar remaja, mau sekolah aja se pusing ini kamu boy." Ayah terkekeh. "Gimana kalau kamu sekolah di tempat paman mu aja, boy?" Jendral yang mendengar itu menoleh ke arah ayah.
"Di tempat paman?" Tanya Jen, ayah manggut-manggut mendengar pertanyaan dari Jen. "Bukannya kalau tempat paman itu SMK?" Tanya Jen lagi.
Ayah yang di tanya oleh Jen kembali mengangguk. "Iya boy. Di sana ada tiga jurusan, ada Teknik Elektronika, Akuntansi sama Teknik Kendaraan Ringan."
Jendral mengangguk mendengarnya, ia kembali bertanya ke ayahnya. "Itu sekolah Negeri kan yah?"
"Iya lah, kan kamu yang nggak mau sekolah di sekolah swasta." Jawab ayah. "Jadinya, kamu mau gak boy?" Tanya ayah lagi, Jen yang di tanya hanya bisa diam.
Ayah menepuk pundak puteranya dua kali. "Yaudah, kamu pikirkan dulu baik baik, jangan paksa dirimu kalau memang gak mau, oke?" Jendral yang mendengarnya-pun hanya mengangguk lagi. "Ayah ke dalam dulu, ngantuk. Kamu jangan tidur kemalaman." Final ayah sambil melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Iya yah, aman." Ucap Jendral, dirasanya dirinya sudah kembali sendirian, hela napas kembali terdengar. "Welcome to bersekolah di sekolah yang nggak lo mau." Ucap Jendral menatap langit tanpa bintang. "Goblok." Umpatan dan makian terlontar dari mulutnya.
"Nggak apa lah, asu. Dari pada sekolah di SMA tapi gue yang gak jelas, mending sekolah di tempat paman, ya itung-itung pakai orang dalam." Kekehan kecil terdengar dari mulutnya.