𝗡𝗔𝗬𝗔𝗡𝗜𝗞𝗔 𝗥𝗘𝗡𝗝𝗔𝗡𝗔
Bak lautan tenang yang terhampar luas di bentangan samudra, aku menempatkanmu di ufuknya—menjelma sebagai senja yang tak pernah tenggelam cahayanya.
Entah berapa hiperbola kuumpamakan untuk menggambarkan hingar-bingar rupamu, parasmu, dan elokmu. Tak cukup sejuta kata untuk itu; bahkan mulut kian membisu, mata membinar biru—terlelap di sudut daksamu.
Irama nada Banda Naira selalu menjadi senjata untuk melukiskan indahmu. Nada-nadanya serupa tenangmu, mengiringi malamku yang sendu, tatkala rindu terus berpacu.
Namun, apa kau tahu? Senja yang kudamba sering berdusta?.
Ia jingga karna rindu—merah sebab pilu, dan syahdu lantaran takut kehilanganmu. Setiap hadirmu bagai ombak yang datang dan pergi, meninggalkan jejak samar dilautanku yang sunyi.
Lalu, harus kupendam di mana jutaan kata? bila dimatamu saja kulihat semesta?. Haruskah kurangkai lagi sajak yang lebih megah? atau cukup aku yang binasa—dibawah cahaya rupamu yang indah.
#sajakberbicara
[ @sajakberbicara ]
Bak lautan tenang yang terhampar luas di bentangan samudra, aku menempatkanmu di ufuknya—menjelma sebagai senja yang tak pernah tenggelam cahayanya.
Entah berapa hiperbola kuumpamakan untuk menggambarkan hingar-bingar rupamu, parasmu, dan elokmu. Tak cukup sejuta kata untuk itu; bahkan mulut kian membisu, mata membinar biru—terlelap di sudut daksamu.
Irama nada Banda Naira selalu menjadi senjata untuk melukiskan indahmu. Nada-nadanya serupa tenangmu, mengiringi malamku yang sendu, tatkala rindu terus berpacu.
Namun, apa kau tahu? Senja yang kudamba sering berdusta?.
Ia jingga karna rindu—merah sebab pilu, dan syahdu lantaran takut kehilanganmu. Setiap hadirmu bagai ombak yang datang dan pergi, meninggalkan jejak samar dilautanku yang sunyi.
Lalu, harus kupendam di mana jutaan kata? bila dimatamu saja kulihat semesta?. Haruskah kurangkai lagi sajak yang lebih megah? atau cukup aku yang binasa—dibawah cahaya rupamu yang indah.
—𝐒𝐚𝐠𝐚𝐫𝐚
#sajakberbicara
[ @sajakberbicara ]