Sore itu langit Jakarta nampak cerah, tak ada tanda-tanda hujan akan mengguyur kota yang dijuluki sebagai Kota Metropolitan itu lagi, seperti hari-hari sebelumnya.
Di lain tempat, lebih tepatnya di sebuah kedai kopi, nampak gadis mungil berparas ayu terlihat tengah duduk di kursi pojok dengan segelas cup coffe didepannya. Sesekali ia terkekeh menatap layar ponsel entah apa yang menggugah sudut bibirnya terangkat, jemarinya nampak lihai menggelitik ponsel ungu muda yang memiliki kesan elegan.
Lelaki jangkung berhoodie marun terlihat berjalan mendekati gadis itu. Namun gadis berdarah jawa itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya, masih saja berkutat dengan ponsel sesekali menyesap kopinya yang mulai dingin, tanpa memperhatikan sekitar.
"Pesen apa mbak?"
suara lelaki itu terkesan meremehkan, lalu diakhiri dengan kekehan pelan membuat gadis itu menghentikan aktivitasnya lalu menatap lelaki tampan yang tepat berdiri didepannya.
"Telat 2 jam lebih 12 menit, Raden Dimasta Djunjungan tuan sok sibuk " Gendhis mendengus kesal, sedikit geram menekankan kata sibuk. Wajar saja, gadis sudah menunggu selama itu.
"Hahahaha gokil lu, ngitung waktu sedetail itu" gelak tawa Dimas terdengar puas, membuat orang di sekitarnya terhipnotis. Merekam momen indah itu dengan netra mereka. Berbeda dengan gadis di depannya.
"Diem nggak lu, gendeng. Malu diliatin" gadis itu melempar buku bersampul coklat kearah Dimas.
"Wih kalem dong dek Gendhis" Dimas mendudukkan bokongnya tepat persis didepan gadis itu. Lalu memungut buku gadis pemilik nama lengkap Diajeng Gendhisayu itu.
Gendhis menatap intens sahabatnya yang tengah memasang wajah serius, membuka lembar demi lembar buku miliknya. Senyum Gendhis tersungging, mengingat kala pertemuan pertama mereka di bangku SMP. Lucu, pikirnya.
Jitakan dikepala Gendhis membuyarkan lamunan gadis itu.
"Lu kesambet apa gimana? ngeliatin gue senyum-senyum gitu, tau gue ganteng"
Bodoh, batin Gendhis.
"Dih, gue cuma lagi ngebayangin kalo kepala lu botak terus perut lu buncit kaya guru sejarah di sekolah" Gendhis terkikik, gadis itu memang pandai menakhlukan suasana.
"Bangke, jangan bayangin gitu. Takut sawan gue" Dimas bergidik ngeri, lalu tersenyum melihat gadis didepannya itu tertawa, hingga matanya menyipit seperti bulan sabit. Menggemaskan.
Dering telepon dari ponsel Gendhis menghentikan tawa keduanya. Nama Sansekerta terpampang jelas di ponsel itu. Raut wajah Dimas berubah, Gendhis sadar akan perubahan itu, meskipun Dimas mencoba terlihat biasa saja.
"Angkat dulu, siapa tau penting. Apa perlu gue pergi dulu, biar enak telponnya?" Suara Dimas tenang, terkesan dingin.
"Nggak, lu disini. Ikut dengerin"
Gendhis menggeser tombol hijau, menekan loud speaker agar sahabatnya dapat mendengarnya. Ya kebiasaan mereka berdua dari dulu.
"Dimana?" Suara bariton terdengar jelas.
"Kedai kopi, tempat biasa. Kenapa?"
"Gue jemput"
"Nggak usah kak, gue sama Dimas"
"Oh. Nanti malem jam 7 gue dateng ke rumah"
Gendhis meremas rok abu - abu nya. Dia merasakan atmosfer disekitarnya memanas, raut wajah Dimas semakin keruh.
"Emm, nggak bisa kak. Soalnya gue udah ada janji mau pergi sama Dimas"
"Yaudah" tut..tut..tut. Sansekerta memutus sambungan telepon secara sepihak. Gendhis mengehela nafas, merundukan kepalanya, remasan di rok sekolahnya makin menguat. Ia sungguh tak berani menatap sahabatnya.
"Kapan gue janji mau pergi?" senyum Dimas tertahan, melihat ekspresi Gendhis begitu gugup, sangat lucu.
"Ya nggak pernah. Cuma gue tadi bingung, nolaknya gimana" suara Gendhis pelan, namun dapat tertangkap oleh indra pendengaran Dimas.
"Hahahaha dongo banget nyet. Muka lu biasa aja kali. Oke nanti malem gue jemput. Ke pasar malem? Gimana?" Gelak tawa Dimas tak dapat ia tahan.
"Anjir lu mah, dah gue mau pulang" Gendhis beranjak dari tempat duduknya, menggendong tas sekolahnya, lalu melangkahnya kakinya keluar kedai, semburat rona merah muda wajahnya benar-benar menggemaskan.
"Dih kabur, pulang sama gue monyet"
Dimas menyusul Gendhis, senyumnya merekah. Menandakan ia tengah berbahagia.
〻 #CARITA