Sentuhan jemari angin itu mengelus halus ubunku.
Permai menguasai, seolah duniaku tak akan kelabu buat selamanya.
Akan selalu ada warna-warna terang yang menghias kamar hidup.
Namun saat hadirnya terik mentari yang membakar kulitku,
Aku tersentak dari lamunan mimpiku.
Mimpi yang aku harap akan selalu mendamaikan.
Aku bingung.
Terus amarah merebut tempat dalam jiwa,
Membakar hati nan lara.
Kenapa angin damai itu harus pergi?
Usapan angin itu kian hilang,
Dan aku di sini terbakar dengan amarahku.
Langsung pecah kolam mataku,
Berjuraian permata mencoret wajah nan sugul,
Mengharap semuanya akan kembali sediakala seperti dulu-dulu.
Namun sepertinya aku hampir mengerti,
Aku terlalu hidup dalam corak yang aku lukiskan,
Tanpa sekali membenarkan datangnya takdir.
Duhai diri,
Hiduplah kau dalam realiti yang sebenar.
Angin damai itu tak akan selalu menemanimu.
Percayalah,
Walau takdir yang hadir itu membakar,
Pasti pada akhirnya nanti,
Semuanya akan baik-baik saja.
-Aida
@CatatanSenjaa
Permai menguasai, seolah duniaku tak akan kelabu buat selamanya.
Akan selalu ada warna-warna terang yang menghias kamar hidup.
Namun saat hadirnya terik mentari yang membakar kulitku,
Aku tersentak dari lamunan mimpiku.
Mimpi yang aku harap akan selalu mendamaikan.
Aku bingung.
Terus amarah merebut tempat dalam jiwa,
Membakar hati nan lara.
Kenapa angin damai itu harus pergi?
Usapan angin itu kian hilang,
Dan aku di sini terbakar dengan amarahku.
Langsung pecah kolam mataku,
Berjuraian permata mencoret wajah nan sugul,
Mengharap semuanya akan kembali sediakala seperti dulu-dulu.
Namun sepertinya aku hampir mengerti,
Aku terlalu hidup dalam corak yang aku lukiskan,
Tanpa sekali membenarkan datangnya takdir.
Duhai diri,
Hiduplah kau dalam realiti yang sebenar.
Angin damai itu tak akan selalu menemanimu.
Percayalah,
Walau takdir yang hadir itu membakar,
Pasti pada akhirnya nanti,
Semuanya akan baik-baik saja.
-Aida
@CatatanSenjaa