TANGGAPAN-TANGGAPAN KH. M. NAJIH MAIMOEN
Terhadap
Keputusan Bahtsul Masa’il GP. Ansor
Di Jakarta Pada Tanggal 11-12 Maret 2017
Tentang “Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia”
بسم الله الرحمن الرحيم
Pandangan Umum
– Secara umum, dalam menilai kajian BM GP. Ansor, kami sejalan dengan komentar KH. Zuhrul Anam Hisyam, beliau mengutip satu Qo’idah dari kitab Qowa’idus Syaikh Zarruq yang berbunyi:
“المتكلم في فن من فنون العلم إن لم يلحق فرعه بأصله ويحقق أصله من فرعه ويصل معقوله بمنقوله وينسب منقوله لمعادنه ويعرض ما فهم منه على ما علم من استنباط أهله، فسكوته عنه أولى من كلامه فيه، إذ خطأه أقرب من إصابته، وضلاله أسرع من هدايته، إلا أن يقتصر على مجرد النقل المحرر من الإيهام والإبهام، فرب حامل فقه غير فقيه، فيسلم له نقله لا قوله، وبالله التوفيق”
Penampilan aneka macam ibarat dan argumentasi dalam rumusan BM GP. Ansor sarat dengan iham-ibham, bahkan mengutip penalarn Syaikh Ali Jum’ah dan Syaikh Abdul Hamid al-Athrasy di bagian akhir rumusan termasuk upaya penyesatan terhadap umat Islam.
– Menyikapi keputusan BM GP. Ansor, kami sepakat dengan pernyataan Wakil Ro’is Aam PBNU, KH. M. Miftahul Akhyar,“Perkara sah itu belum tentu halal”. Bahkan lebih tepatnya, ketika Non Muslim dipaksakan terpilih menjadi pemimpin, maka berarti statusnya bukan sah akan tetapi disahkan karena dharurat. Kecuali jika yang jadi adalah si penista agama, maka jelas tidak sah, karena melanggar undang-undang.
Fatwa ulama Mesir tidak Sah dibuat Pijakan Dalil
– Syaikh Ali Jum’ah berfatwa “kebolehan kepemimpinan non muslim”, fatwa ini dilatarbelakangi status beliau yang menjabat sebagai Mufti negara, Mesir, sehingga beliau tidak punya ruang gerak untuk berseberangan dengan hegemoni pemerintah. Dengan kondisi seperti ini, fatwa beliau ini tidak bisa menjadi pijakan umat Islam Indonesia. Perlu kami ingatkan bahwa Syaikh Ali Jum’ah pernah berfatwa kebolehan menitipkan uang di Bank, meski beliau tetap mengharamkan hutang pada pihak Bank.
– Salah satu ulama yang dibuat pijakan fatwanya oleh BM GP. Ansor adalah Syaikh Abdul Hamid al-Athrasy, beliau berpendapat “Kelayakan seorang calon pemimpin diukur dari kemampuannya menunaikan tugasnya dalam melayani masyarakat”. Jelas sekali Syaikh Azhari mengesampingkan peran agama dalam kepemimpinan, ini sangat berbahaya, apalagi dalam draft fatwanya tidak disertakan dalil-dalil syar’i, hanya menggunakan teori-teori logika (ciri khas pemikiran Liberal). Masihkan GP. Ansor menjadikannya imam panutan?
– Terobosan-terobosan Syaikh Ali Jum’ah dan Syaikh Abdul Hamid al-Athrasy tidak cocok untuk umat Islam Indonesia, terlebih kaum NU yang asas bermadzhabnya adalah Madzhab Empat, karena terobosan tersebut tidak bersumber dari kutubussalaf minal madzahibil arba’ah.
– Prediksi Imam Ramli rahimahullah kurang tepat, karena dalam fatwanya beliau menyatakan keadaan umat Islam di negeri Andalus bisa terus kondusif, bahkan non muslimnya diharapkan dapat masuk Islam. Akan tetapi realitanya negeri Andalus justru dikuasai oleh orang-orang Kristen, bahkan umat Islam dibantai sampai diusir dari negeri sendiri. Jika NU Liberal-GP. Ansor memaksakan diri beristidlal kepemimpinan non-muslim dengan konteks negeri Andalus, apakah mereka menginginkan Indonesia menjadi Spanyol atau Tibet kedua?
Maslahah Mursalah apalagi Demokrasi Moderen atau yang lain Tidak Termasuk Alasan Mu’tabar Syar’an
– Pernyataan al-Marhum KH. M. A. Sahal Mahfudz yang beralasan “gagasan Demokrasi moderen”, kami kurang menyetujuinya. Zaman Moderen memang tidak bisa dihindari, tapi kita umat Islam tetap harus memiliki corak Islami (Shibghatallahi), terlebih kaum santri. Menurut kami, pernyataan beliau tersebut adalah pendapat pribadi yang tidak dilandasi ta’bir-ta’bir kutubussalaf, sehingga tidak sah dibuat pijakan dalil. Bahkan beliau juga mengutip pendapat Ibn Taimiyah, ulama kontroversial yang menjadi sateru kiai-kiai Nahdlatul Ulama, terlebih sang pendiri NU, Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
– Pilpres, Pilgub dan Pilkada diselenggarakan secara bebas, transparan dan tanpa paksaan (sesuai jargon mereka), dan kenyataannya setiap warga nega
Terhadap
Keputusan Bahtsul Masa’il GP. Ansor
Di Jakarta Pada Tanggal 11-12 Maret 2017
Tentang “Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia”
بسم الله الرحمن الرحيم
Pandangan Umum
– Secara umum, dalam menilai kajian BM GP. Ansor, kami sejalan dengan komentar KH. Zuhrul Anam Hisyam, beliau mengutip satu Qo’idah dari kitab Qowa’idus Syaikh Zarruq yang berbunyi:
“المتكلم في فن من فنون العلم إن لم يلحق فرعه بأصله ويحقق أصله من فرعه ويصل معقوله بمنقوله وينسب منقوله لمعادنه ويعرض ما فهم منه على ما علم من استنباط أهله، فسكوته عنه أولى من كلامه فيه، إذ خطأه أقرب من إصابته، وضلاله أسرع من هدايته، إلا أن يقتصر على مجرد النقل المحرر من الإيهام والإبهام، فرب حامل فقه غير فقيه، فيسلم له نقله لا قوله، وبالله التوفيق”
Penampilan aneka macam ibarat dan argumentasi dalam rumusan BM GP. Ansor sarat dengan iham-ibham, bahkan mengutip penalarn Syaikh Ali Jum’ah dan Syaikh Abdul Hamid al-Athrasy di bagian akhir rumusan termasuk upaya penyesatan terhadap umat Islam.
– Menyikapi keputusan BM GP. Ansor, kami sepakat dengan pernyataan Wakil Ro’is Aam PBNU, KH. M. Miftahul Akhyar,“Perkara sah itu belum tentu halal”. Bahkan lebih tepatnya, ketika Non Muslim dipaksakan terpilih menjadi pemimpin, maka berarti statusnya bukan sah akan tetapi disahkan karena dharurat. Kecuali jika yang jadi adalah si penista agama, maka jelas tidak sah, karena melanggar undang-undang.
Fatwa ulama Mesir tidak Sah dibuat Pijakan Dalil
– Syaikh Ali Jum’ah berfatwa “kebolehan kepemimpinan non muslim”, fatwa ini dilatarbelakangi status beliau yang menjabat sebagai Mufti negara, Mesir, sehingga beliau tidak punya ruang gerak untuk berseberangan dengan hegemoni pemerintah. Dengan kondisi seperti ini, fatwa beliau ini tidak bisa menjadi pijakan umat Islam Indonesia. Perlu kami ingatkan bahwa Syaikh Ali Jum’ah pernah berfatwa kebolehan menitipkan uang di Bank, meski beliau tetap mengharamkan hutang pada pihak Bank.
– Salah satu ulama yang dibuat pijakan fatwanya oleh BM GP. Ansor adalah Syaikh Abdul Hamid al-Athrasy, beliau berpendapat “Kelayakan seorang calon pemimpin diukur dari kemampuannya menunaikan tugasnya dalam melayani masyarakat”. Jelas sekali Syaikh Azhari mengesampingkan peran agama dalam kepemimpinan, ini sangat berbahaya, apalagi dalam draft fatwanya tidak disertakan dalil-dalil syar’i, hanya menggunakan teori-teori logika (ciri khas pemikiran Liberal). Masihkan GP. Ansor menjadikannya imam panutan?
– Terobosan-terobosan Syaikh Ali Jum’ah dan Syaikh Abdul Hamid al-Athrasy tidak cocok untuk umat Islam Indonesia, terlebih kaum NU yang asas bermadzhabnya adalah Madzhab Empat, karena terobosan tersebut tidak bersumber dari kutubussalaf minal madzahibil arba’ah.
– Prediksi Imam Ramli rahimahullah kurang tepat, karena dalam fatwanya beliau menyatakan keadaan umat Islam di negeri Andalus bisa terus kondusif, bahkan non muslimnya diharapkan dapat masuk Islam. Akan tetapi realitanya negeri Andalus justru dikuasai oleh orang-orang Kristen, bahkan umat Islam dibantai sampai diusir dari negeri sendiri. Jika NU Liberal-GP. Ansor memaksakan diri beristidlal kepemimpinan non-muslim dengan konteks negeri Andalus, apakah mereka menginginkan Indonesia menjadi Spanyol atau Tibet kedua?
Maslahah Mursalah apalagi Demokrasi Moderen atau yang lain Tidak Termasuk Alasan Mu’tabar Syar’an
– Pernyataan al-Marhum KH. M. A. Sahal Mahfudz yang beralasan “gagasan Demokrasi moderen”, kami kurang menyetujuinya. Zaman Moderen memang tidak bisa dihindari, tapi kita umat Islam tetap harus memiliki corak Islami (Shibghatallahi), terlebih kaum santri. Menurut kami, pernyataan beliau tersebut adalah pendapat pribadi yang tidak dilandasi ta’bir-ta’bir kutubussalaf, sehingga tidak sah dibuat pijakan dalil. Bahkan beliau juga mengutip pendapat Ibn Taimiyah, ulama kontroversial yang menjadi sateru kiai-kiai Nahdlatul Ulama, terlebih sang pendiri NU, Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
– Pilpres, Pilgub dan Pilkada diselenggarakan secara bebas, transparan dan tanpa paksaan (sesuai jargon mereka), dan kenyataannya setiap warga nega