seorang qadli sebagai hakim pemutus. Justru di zaman kemerdekaan, Qadli ditiadakan, yang ada hanya Kepala Pengadilan Agama. Namun keadaan seperti ini lebih baik, karena Menteri Agama di awal kemerdekaan era Orde Lama dijabat oleh ulama yang alim dan dikelilingi para kiai Ahli Falak yang berhati-hati dalam menetapkan derajat tinggi hilal (imkanurru’yah), sehingga penetapan hilal Ramadhan sangat dipercaya. Berbeda dengan sekarang, dimana tokoh-tokohnya kurang alim, dan untungnya mereka masih agak menghormati ulama, wallahu a’lam bish-showab.
– Peristiwa tahkim yang dibuat dalil GP. Ansor menerima kepemimpinan non muslim kurang tepat, karena tahkim itu perjanjian antar muslim (Sayyidina Ali RA dan Sayyidina Mu’awiyah), sehingga harus dipenuhi tidak boleh dikhianati, Rasulullah SAW bersabda:
المسلمون على شروطهم
Dengan menampilkan peristiwa tahkim, GP. Ansor berusaha menggiring umat Islam Indonesia ke pemahaman keliru, yaitu pemahaman pejuang Islam tempo dulu menerima keputusan “tidak disyaratkan kepala negara harus beragama Islam” dan seakan-akan membiarkan penghapusan tujuh kalimat dalam piagam Jakarta. GP. Ansor melandasi pemahaman ini dengan hujjah “al-wafa’ bil’ahdi”, yang memberi kesimpulan bahwa pejuang Islam telah melakukan inkonsistensi perjuangan ataumudahanah.
Padahal jika kita membaca sejarah kemerdekaan Indonesia, KH. A. Wahid Hasyim yang mewakili pan Islam, tidak pernah menyatakan demikian. Adapun beliau tidak menetang penghapusan tujuh kalimat tersebut karena alasan darurat (negara yang baru terbentuk dengan Presiden Sukarno dan Wapres M. Hatta), dan merasa ditelikung oleh kelompok pan Nasional dengan cara tidak diberi hak berpendapat apalagi berdialog. Bahkan pan Islam pada waktu itu diteror oleh Muhammad Hatta, pasalnya ia menerima informasi (yang katanya penting?) dari Perwira Angkatan Laut Jepang (tanpa nama!), bahwa pencantuman kata-kata“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menyebabkan orang-orang Kristen di Indonesia Timur merasa didiskriminasi, menurut perwira itu kalangan Kristen lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia kalau tujuh kata itu dipertahankan. Maka kemudian terjadilah penghapusan sepihak tujuh kalimat tersebut lima belas menit pasca Proklamasi.Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Maha Benar Allah dalam firman-Nya;
وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون (الواقعة: 82)
Diberi nikmat kemerdekaan Allah SWT, malah berani menghapus syi’ar-syi’ar agama-Nya!
– Setelah penghapusan tujuh kalimat secara sepihak, umat Islam sebetulnya masih memperjuangkan syari’at Islam lewat Majlis konstituante yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Sukarno, karena ia takut kemenangan diraih pan Islam, sebab argumen-argumen kaum muslimin tidak terbantahkan.
Kredibilitas Keilmuan Perumus BM GP. Ansor patut dipertanyakan
– Muwalah yang diterangkan dalam tafsir Ibn Katsir itu artinya mua’asharoh bil jamil min haitsu dohir seperti dalam tafsir murah labid. Kesalahan terbesar GP. Ansor adalah memaknai muwalah dengan arti “pemimpin”. Tafsir semacam ini adalah contoh pengambilan tafsir ala liberal, karena yang dibahas oleh Imam Ibn Katsir dalam ayat tersebut adalah aspek hubungan sosial, bukan tentang kepemimpinan!
– Dari ta’bir-ta’bir banyak yang mereka tampilkan, menurut kami yang paling cocok (benar) adalah kalamnya Syaikh al-Buthi dalam kitabnya, Fiqhus Sirah:
رابعا: ولاية غير المسلمين، وإذا تأملنا في النتيجة التشريعية لهذه الحادثة وهي الآيات القرآنية التي نزلت تعليقا عليها علمنا أنه لا يجوز لأي مسلم أن يتخذ من غير المسلم وليا له أي صاحبا تشيع بينهما مسؤولية الولاية والتعاون. وهذا من الأحكام الإسلامية التي لم يقع الخلاف فيها بين المسملين، إذ الآيات القرآنية الصريحة في هذا متكررة وكثيرة والأحاديث النبوية في تأكيد ذلك تبلغ مبلغ التواتر المعنوي، ولا مجال هنا لسرد هذه الأدلة فهي معروفة غير خفية على الباحث.
ولا يستثنى من هذا الحكم إلا حالة واحدة هي أن يلجأ المسلمون إلى هذه الموالاة بسبب شدة الضعف التي قد تحملهم كرها على ذلك، فقد رخص الله في ذلك إذ قال “لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين، ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا أن تتقوا منهم تقاة” (آل عمران: 28)
– Peristiwa tahkim yang dibuat dalil GP. Ansor menerima kepemimpinan non muslim kurang tepat, karena tahkim itu perjanjian antar muslim (Sayyidina Ali RA dan Sayyidina Mu’awiyah), sehingga harus dipenuhi tidak boleh dikhianati, Rasulullah SAW bersabda:
المسلمون على شروطهم
Dengan menampilkan peristiwa tahkim, GP. Ansor berusaha menggiring umat Islam Indonesia ke pemahaman keliru, yaitu pemahaman pejuang Islam tempo dulu menerima keputusan “tidak disyaratkan kepala negara harus beragama Islam” dan seakan-akan membiarkan penghapusan tujuh kalimat dalam piagam Jakarta. GP. Ansor melandasi pemahaman ini dengan hujjah “al-wafa’ bil’ahdi”, yang memberi kesimpulan bahwa pejuang Islam telah melakukan inkonsistensi perjuangan ataumudahanah.
Padahal jika kita membaca sejarah kemerdekaan Indonesia, KH. A. Wahid Hasyim yang mewakili pan Islam, tidak pernah menyatakan demikian. Adapun beliau tidak menetang penghapusan tujuh kalimat tersebut karena alasan darurat (negara yang baru terbentuk dengan Presiden Sukarno dan Wapres M. Hatta), dan merasa ditelikung oleh kelompok pan Nasional dengan cara tidak diberi hak berpendapat apalagi berdialog. Bahkan pan Islam pada waktu itu diteror oleh Muhammad Hatta, pasalnya ia menerima informasi (yang katanya penting?) dari Perwira Angkatan Laut Jepang (tanpa nama!), bahwa pencantuman kata-kata“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menyebabkan orang-orang Kristen di Indonesia Timur merasa didiskriminasi, menurut perwira itu kalangan Kristen lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia kalau tujuh kata itu dipertahankan. Maka kemudian terjadilah penghapusan sepihak tujuh kalimat tersebut lima belas menit pasca Proklamasi.Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Maha Benar Allah dalam firman-Nya;
وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون (الواقعة: 82)
Diberi nikmat kemerdekaan Allah SWT, malah berani menghapus syi’ar-syi’ar agama-Nya!
– Setelah penghapusan tujuh kalimat secara sepihak, umat Islam sebetulnya masih memperjuangkan syari’at Islam lewat Majlis konstituante yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Sukarno, karena ia takut kemenangan diraih pan Islam, sebab argumen-argumen kaum muslimin tidak terbantahkan.
Kredibilitas Keilmuan Perumus BM GP. Ansor patut dipertanyakan
– Muwalah yang diterangkan dalam tafsir Ibn Katsir itu artinya mua’asharoh bil jamil min haitsu dohir seperti dalam tafsir murah labid. Kesalahan terbesar GP. Ansor adalah memaknai muwalah dengan arti “pemimpin”. Tafsir semacam ini adalah contoh pengambilan tafsir ala liberal, karena yang dibahas oleh Imam Ibn Katsir dalam ayat tersebut adalah aspek hubungan sosial, bukan tentang kepemimpinan!
– Dari ta’bir-ta’bir banyak yang mereka tampilkan, menurut kami yang paling cocok (benar) adalah kalamnya Syaikh al-Buthi dalam kitabnya, Fiqhus Sirah:
رابعا: ولاية غير المسلمين، وإذا تأملنا في النتيجة التشريعية لهذه الحادثة وهي الآيات القرآنية التي نزلت تعليقا عليها علمنا أنه لا يجوز لأي مسلم أن يتخذ من غير المسلم وليا له أي صاحبا تشيع بينهما مسؤولية الولاية والتعاون. وهذا من الأحكام الإسلامية التي لم يقع الخلاف فيها بين المسملين، إذ الآيات القرآنية الصريحة في هذا متكررة وكثيرة والأحاديث النبوية في تأكيد ذلك تبلغ مبلغ التواتر المعنوي، ولا مجال هنا لسرد هذه الأدلة فهي معروفة غير خفية على الباحث.
ولا يستثنى من هذا الحكم إلا حالة واحدة هي أن يلجأ المسلمون إلى هذه الموالاة بسبب شدة الضعف التي قد تحملهم كرها على ذلك، فقد رخص الله في ذلك إذ قال “لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين، ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا أن تتقوا منهم تقاة” (آل عمران: 28)