Keutamaan Taubat
Pernahkah anda merasa senang? Pernahkah anda gembira riang? Tentu, setiap manusia merasakannya, sehingga sebagian mereka ketika terlalu bahagia, akan lupa segalanya, jiwanya seakan terbang di udara, seolah dunia hanya miliknya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengabarkan tentang kisah seorang yang sangat gembira namun karena hatinya tidak bisa membendung bahagianya, lantas ia pun mengucapkan kata kufur. Bagaimana kisahnya? Mari kita simak.
Dahulu terdapat seorang yang safar melewati padang tandus dan gersang bersama tunggangannya, di tengah padang pasir itu tak didapati mata air, tetumbuhan ataupun binatang, namun musafir tersebut membawa perbekalannya dengan lengkap. Makanan enak, air segar dan segala perlengkapan pun melimpah lengkap.
Di tengah perjalanan ia pun beristirahat, karena terlalu lelah dan panas terik ia pun tertidur. Ketika terbangun, ia pun kaget, tiba-tiba tunggangannya hilang entah kemana, seluruh perbekalan yang dibawanya pun ikut raib.
Dalam kebingungan, ia pun mencari kemana lari tunggangannya, namun semua sia-sia. Hingga akhirnya ia putus asa dan berpikir bahwa sisa umurnya hanya tinggal hitungan waktu saja. Ia pun rebahkan tubuhnya pada sebuah pohon, menunggu pasrah berharap jalan keluar.
Saat asa melemah, orang itu pun tertidur lelah. Tak tahu ia tertidur berapa lama, letihnya mencari tunggangannya yang hilang melelapkan kesadarannya. Hingga saat ia terbangun, bayangan unta yang memikul perbekalan, perlahan jelas tertampak. Semakin ia membuka mata, semakin yakin bahwa itu adalah tunggangannya yang hilang. Allahu akbar! Demi Allah tidak akan ada seorangpun yang bisa menggambarkan kegembiraan pengendara ini kecuali orang yang pernah mengalami hal yang serupa.
Seketika itu juga, ia pegang dengan erat tali kekang untanya, ternyata ia dapati semuanya masih ada tiada berkurang. Meledaklah kegembiraannya, hingga ia tak bisa mengontrol diri, kontan ia berucap : “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanmu”.
Pembaca, kisah di atas jelas terlihat bahwa kesalahan berucap di saat diri mendapati kegembiraan yang sangat, adalah mungkin terjadi, bahkan kisah di atas disempurnakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan sabdanya, “Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala lebih bergembira dari orang tersebut tatkala melihat hambanya bertaubat kepadanya” (HR Bukhari dan Muslim dari beberapa shahabat nabi dengan lafadz yang berbeda).
Dari hadist di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Allah memliki sifat al farhu (gembira), dan ini harus wajib kita imani. Namun ada catatan penting yang harus diperhatikan, bahwa kegembiraan Allah tidak seperti kegembiraan makhlukNya yang serba kurang dan cacat. Kegembiraan Allah tentunya sesuai dengan kemuliaan yang layak bagiNya, sebagaimana hal ini sudah menjadi prinsip ahlussunnah wal jama’ah, yaitu:
*ليس كمثله شيء وهو السميع البصير*
Artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syura: 11)
Pembaca, janganlah kita terjatuh ke dalam pemahaman keliru tentang hal ini, dimana sebagian orang telah menolak sifat al farhu ini dengan alasan yang tidak tepat, sehingga mengantarkan kepada perbuatan merubah makna al farhu (gembira) menjadi “kehendak memberi pahala” tanpa adanya dalil yang mendukungnya.
Kewajiban kita sebagai ahlussunnah adalah beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala juga bergembira secara hakiki, tidak diubah menjadi makna yang keliru sedikitpun, karena kegembiraannya Allah adalah sesuai dengan kemuliaannya yang kesempurnaan yang tidak sedikitpun serupa dengan makhluknya.
Pernahkah anda merasa senang? Pernahkah anda gembira riang? Tentu, setiap manusia merasakannya, sehingga sebagian mereka ketika terlalu bahagia, akan lupa segalanya, jiwanya seakan terbang di udara, seolah dunia hanya miliknya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengabarkan tentang kisah seorang yang sangat gembira namun karena hatinya tidak bisa membendung bahagianya, lantas ia pun mengucapkan kata kufur. Bagaimana kisahnya? Mari kita simak.
Dahulu terdapat seorang yang safar melewati padang tandus dan gersang bersama tunggangannya, di tengah padang pasir itu tak didapati mata air, tetumbuhan ataupun binatang, namun musafir tersebut membawa perbekalannya dengan lengkap. Makanan enak, air segar dan segala perlengkapan pun melimpah lengkap.
Di tengah perjalanan ia pun beristirahat, karena terlalu lelah dan panas terik ia pun tertidur. Ketika terbangun, ia pun kaget, tiba-tiba tunggangannya hilang entah kemana, seluruh perbekalan yang dibawanya pun ikut raib.
Dalam kebingungan, ia pun mencari kemana lari tunggangannya, namun semua sia-sia. Hingga akhirnya ia putus asa dan berpikir bahwa sisa umurnya hanya tinggal hitungan waktu saja. Ia pun rebahkan tubuhnya pada sebuah pohon, menunggu pasrah berharap jalan keluar.
Saat asa melemah, orang itu pun tertidur lelah. Tak tahu ia tertidur berapa lama, letihnya mencari tunggangannya yang hilang melelapkan kesadarannya. Hingga saat ia terbangun, bayangan unta yang memikul perbekalan, perlahan jelas tertampak. Semakin ia membuka mata, semakin yakin bahwa itu adalah tunggangannya yang hilang. Allahu akbar! Demi Allah tidak akan ada seorangpun yang bisa menggambarkan kegembiraan pengendara ini kecuali orang yang pernah mengalami hal yang serupa.
Seketika itu juga, ia pegang dengan erat tali kekang untanya, ternyata ia dapati semuanya masih ada tiada berkurang. Meledaklah kegembiraannya, hingga ia tak bisa mengontrol diri, kontan ia berucap : “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanmu”.
Pembaca, kisah di atas jelas terlihat bahwa kesalahan berucap di saat diri mendapati kegembiraan yang sangat, adalah mungkin terjadi, bahkan kisah di atas disempurnakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan sabdanya, “Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala lebih bergembira dari orang tersebut tatkala melihat hambanya bertaubat kepadanya” (HR Bukhari dan Muslim dari beberapa shahabat nabi dengan lafadz yang berbeda).
Dari hadist di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Allah memliki sifat al farhu (gembira), dan ini harus wajib kita imani. Namun ada catatan penting yang harus diperhatikan, bahwa kegembiraan Allah tidak seperti kegembiraan makhlukNya yang serba kurang dan cacat. Kegembiraan Allah tentunya sesuai dengan kemuliaan yang layak bagiNya, sebagaimana hal ini sudah menjadi prinsip ahlussunnah wal jama’ah, yaitu:
*ليس كمثله شيء وهو السميع البصير*
Artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syura: 11)
Pembaca, janganlah kita terjatuh ke dalam pemahaman keliru tentang hal ini, dimana sebagian orang telah menolak sifat al farhu ini dengan alasan yang tidak tepat, sehingga mengantarkan kepada perbuatan merubah makna al farhu (gembira) menjadi “kehendak memberi pahala” tanpa adanya dalil yang mendukungnya.
Kewajiban kita sebagai ahlussunnah adalah beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala juga bergembira secara hakiki, tidak diubah menjadi makna yang keliru sedikitpun, karena kegembiraannya Allah adalah sesuai dengan kemuliaannya yang kesempurnaan yang tidak sedikitpun serupa dengan makhluknya.