Aku benci pekerjaanku! Aku biasanya pendiam. Dan ironisnya, aku justru
bekerja sebagai operator call centre. Yah memang sedih. Pekerjaan ini kadangkala bisa menjadi berat.
Bayangkan berbicara dengan ratusan orang tiap hari, namun masih merasa kesepian. Aku tak memiliki interaksi yang sesungguhnya dengan orang lain selain melalui telepon. Aku hanya menatap layar dan berbicara dengan orang yang mau memesan pakaian dari katalog kami dan belum tahu cara memesan online melalui internet.
Yah, bisa kalian tebak, kebanyakan darı mereka adalah manula. Maksudku, benar-benar tua. Sebagian besar dari mereka baik sih. Namun tetap saja ada penggerutu di sana dan di sini, namun untunglah pekerjaan ini sama sekali tak membuatku stress. Hanya saja aku bukan tipe orang yang suka bicara dan banyak penelepon suka ngobrol tentang cucu-cucu mereka ketimbang memesan sesuatu. Alasan aku mengatakan hal ini karena kemarin aku mendapatkan telepon yang tak kan pernah kulupakan. Kejadian itu diawali seperti biasa.
"Terima kasih sudah menghubungi Dartmouth Clothing. Nama saya Benjamin. Apa yang bisa saya bantu?" Aku sudah mengucapkan kalimat itu ribuan kali hingga terasa seperti refleks bagiku. Aku bahkan sampai takut aku akan menjawab seperti itu juga kalau ada saudara atau teman yang meneleponku
"Halo?" Suaranya terdengar kuno. Oke. Ini akan menjadi salah satu telepon dimana mikrofon sudah berada tepat di mulutku dan aku masih harus berteriak.
"Ya, Bu? Di sini Benjamin dari Dartmouth Clothing. Apa yang saya bantu?"
"Oh, haloooo anak muda!" ia berkata dengan nada riang yang aneh.
"Halo, apa Anda ingin memesan sesuatu?"
"O ya, saya menginginkan sesuat-tu dari-mu"
Aku tak tahu apakah teleponnya menjadi putus-putus atau apa, sebab suaranya terdengar patah-patah.
"Baik, apa Anda memiliki nomor pelanggan?"
la menyebutkan angkanya dan aku mengetiknya di atas keyboard. Semua keterangan mengenainya muncul di layar kurang dari sedetik
"Baiklah, jadi saya sedang berbicara dengan... Eileen?"
"Ya, be-nar..."
"Alamat Anda di 112 Hickory Avenue di
Parkersburg?"
"I-ya."
Oh, gangguan ini lagi, pikirku. Darimana wanita ini menelepon?
"Oke Bu, kapanpun Anda siap Anda
dapat..."
Aku tak memperhatikannya sebelumnya, namun di bagian atas halaman profil pelanggan kami terdapat kolom yang menyatakan status terbaru klien kami, apakah "berhutang", "tidak aktif", atau bahkan "blacklist".
Namun di sana hanya ada satu kata. ALMARHUM.
Aku membeku. Apa-apaan ini? Aku tak bisa memikirkan apa yang terjadi.
"Apa kau masih di sanaaaa, Nak?"
Dia terbatuk. Atau suara yang aku pikir suara batuk. Suaranya lebih mirip sebuah degukan kering
"Uh, ya Bu... saya masih di sini ..."
Aku kehilangan ketenanganku. Ini benar-benar membuatku merinding. Tulisan ini masih ada di sana, berpijar di layarku. ALMARHUM.
Mengingat kejadian ini, aku merasa seharusnya aku sesegera mungkin memutuskan telepon itu. Namun aku tidak. Dan aku harus menanggung resiko terkutuknya. Ada momen kesunyian sejenak dan kemudian, entah dari mana, nada suara wanita itu naik dengan tajam. Terdengar suara tawa. Tawa yang kering"A-ku ingin sesuatu dari-mu ..."
Kemudian aku mendengar suara, "Tik tik tik tik"
Sepertinya aku mengenal suara itu namun aku tak bisa mengingat, suara apa itu. Aku tak tahan lagi. Akhirnya aku memutuskan telepon itu dan melepaskan headset-ku. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak saat itu.
Kuputuskan untuk menyalakan lampu kamar sepanjang malam. Namun aku benar-benar tak bisa mengeluarkan pengalaman itu dari kepalaku.
Akhirnya ketika fajar menjelang, barulah aku teringat suara apa itu. Suara "Tik... tik ..." yang kudengar di telepon. Cobalah buka mulutmu dan ketukkan gigi-gigimu bersamaan.
[ #creepypasdta]
bekerja sebagai operator call centre. Yah memang sedih. Pekerjaan ini kadangkala bisa menjadi berat.
Bayangkan berbicara dengan ratusan orang tiap hari, namun masih merasa kesepian. Aku tak memiliki interaksi yang sesungguhnya dengan orang lain selain melalui telepon. Aku hanya menatap layar dan berbicara dengan orang yang mau memesan pakaian dari katalog kami dan belum tahu cara memesan online melalui internet.
Yah, bisa kalian tebak, kebanyakan darı mereka adalah manula. Maksudku, benar-benar tua. Sebagian besar dari mereka baik sih. Namun tetap saja ada penggerutu di sana dan di sini, namun untunglah pekerjaan ini sama sekali tak membuatku stress. Hanya saja aku bukan tipe orang yang suka bicara dan banyak penelepon suka ngobrol tentang cucu-cucu mereka ketimbang memesan sesuatu. Alasan aku mengatakan hal ini karena kemarin aku mendapatkan telepon yang tak kan pernah kulupakan. Kejadian itu diawali seperti biasa.
"Terima kasih sudah menghubungi Dartmouth Clothing. Nama saya Benjamin. Apa yang bisa saya bantu?" Aku sudah mengucapkan kalimat itu ribuan kali hingga terasa seperti refleks bagiku. Aku bahkan sampai takut aku akan menjawab seperti itu juga kalau ada saudara atau teman yang meneleponku
"Halo?" Suaranya terdengar kuno. Oke. Ini akan menjadi salah satu telepon dimana mikrofon sudah berada tepat di mulutku dan aku masih harus berteriak.
"Ya, Bu? Di sini Benjamin dari Dartmouth Clothing. Apa yang saya bantu?"
"Oh, haloooo anak muda!" ia berkata dengan nada riang yang aneh.
"Halo, apa Anda ingin memesan sesuatu?"
"O ya, saya menginginkan sesuat-tu dari-mu"
Aku tak tahu apakah teleponnya menjadi putus-putus atau apa, sebab suaranya terdengar patah-patah.
"Baik, apa Anda memiliki nomor pelanggan?"
la menyebutkan angkanya dan aku mengetiknya di atas keyboard. Semua keterangan mengenainya muncul di layar kurang dari sedetik
"Baiklah, jadi saya sedang berbicara dengan... Eileen?"
"Ya, be-nar..."
"Alamat Anda di 112 Hickory Avenue di
Parkersburg?"
"I-ya."
Oh, gangguan ini lagi, pikirku. Darimana wanita ini menelepon?
"Oke Bu, kapanpun Anda siap Anda
dapat..."
Aku tak memperhatikannya sebelumnya, namun di bagian atas halaman profil pelanggan kami terdapat kolom yang menyatakan status terbaru klien kami, apakah "berhutang", "tidak aktif", atau bahkan "blacklist".
Namun di sana hanya ada satu kata. ALMARHUM.
Aku membeku. Apa-apaan ini? Aku tak bisa memikirkan apa yang terjadi.
"Apa kau masih di sanaaaa, Nak?"
Dia terbatuk. Atau suara yang aku pikir suara batuk. Suaranya lebih mirip sebuah degukan kering
"Uh, ya Bu... saya masih di sini ..."
Aku kehilangan ketenanganku. Ini benar-benar membuatku merinding. Tulisan ini masih ada di sana, berpijar di layarku. ALMARHUM.
Mengingat kejadian ini, aku merasa seharusnya aku sesegera mungkin memutuskan telepon itu. Namun aku tidak. Dan aku harus menanggung resiko terkutuknya. Ada momen kesunyian sejenak dan kemudian, entah dari mana, nada suara wanita itu naik dengan tajam. Terdengar suara tawa. Tawa yang kering"A-ku ingin sesuatu dari-mu ..."
Kemudian aku mendengar suara, "Tik tik tik tik"
Sepertinya aku mengenal suara itu namun aku tak bisa mengingat, suara apa itu. Aku tak tahan lagi. Akhirnya aku memutuskan telepon itu dan melepaskan headset-ku. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak saat itu.
Kuputuskan untuk menyalakan lampu kamar sepanjang malam. Namun aku benar-benar tak bisa mengeluarkan pengalaman itu dari kepalaku.
Akhirnya ketika fajar menjelang, barulah aku teringat suara apa itu. Suara "Tik... tik ..." yang kudengar di telepon. Cobalah buka mulutmu dan ketukkan gigi-gigimu bersamaan.
[ #creepypasdta]