Pandanganku sontak menoleh ke arah gadis yang berada di samping tempatku duduk. Aku kembali menatap ke arah depan, kala ia memberikanku secangkir teh hangat untuk berdua.
"Membayangkan hidup."
"Bohong -eh, maksudnya belum semua kamu ceritakan."
"Kamu serius mau dengar semuanya, Li?" Melihat Kembaranku — Lilianne Faustine yang menatapku dengan serius, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Kamu percaya dengan istilah semua yang datang akan pergi?"
"Percaya, sangat malahan," Anne menatap langit malam yang kini memunculkan bulan sabit yang indah, menarik nafas sebentar lalu melanjutkan omongannya, "Kamu ngapain nanya kayak gitu coba? Kan kita sudah ngalamin baru saja semalam, Secara nyata dan tanpa rekayasa lagi."
"Semalam? Memangnya kita ngalamin apa?" Aku menatap Anne dengan serius, mencoba untuk mengingat apa yang terjadi semalam.
"Apa ada bagian yang ku lewatkan semalam? Ah, sepertinya tidak." Monolog ku dalam hati.
"Masa tidak ingat? Kita semalam baru saja membeli coklat dan membuat uang saku kita pergi."
Mulutku sontak terbuka lebar, bahkan rasanya rahangku hampir jatuh, mataku yang membulat sempurna seperti akan keluar dari tempatnya. Demi photo bias Shanne yang selalu ia pamerkan, Khayalan jawabannya sudah sampai di tahap tertinggi tapi jatuh begitu saja.
"Demi Bintang Sirius, aku udah serius dengerin nya tapi kamu malah bercanda. Udahlah, sana-sana masuk kamar, bermimpi menikah dengan Scoups saja, nyebelin kamu." Aku mendorong kasar Lilianne yang hanya tertawa dengan puas.
"Iya-iya, aku masuk ke dalam. Kamu kalau udah ngantuk masuk, jangan tidur diluar. Kita gak punya pangeran dengan kuda gagahnya yang bakalan gendong kamu masuk ke kamar terus kasih kata-kata manis penghantar tidur."
Aku mendengus sebal dan mengacuhkan Anne yang sudah masuk ke dalam, palingan sebentar lagi ia akan berteriak dan berkata ingin menikah dengan Scoups.
"Li, ini cardigan pakai, Dingin diluar. omong-omong untuk pertanyaanmu, jawabannya ada di masa lalu. Kita kehilangan sosok tercinta." Aku diam, menerima cardigan yang dilemparkan lewat jendela.
Semua yang datang akan pergi, ntah itu karena selesai atau memang akhir dari ujung cerita. Takdir memiliki rahasia, mengikhlaskan dan mengikuti akan kemana kisah ini berlanjut itu adalah tugas selanjutnya.
"Membayangkan hidup."
"Bohong -eh, maksudnya belum semua kamu ceritakan."
"Kamu serius mau dengar semuanya, Li?" Melihat Kembaranku — Lilianne Faustine yang menatapku dengan serius, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Kamu percaya dengan istilah semua yang datang akan pergi?"
"Percaya, sangat malahan," Anne menatap langit malam yang kini memunculkan bulan sabit yang indah, menarik nafas sebentar lalu melanjutkan omongannya, "Kamu ngapain nanya kayak gitu coba? Kan kita sudah ngalamin baru saja semalam, Secara nyata dan tanpa rekayasa lagi."
"Semalam? Memangnya kita ngalamin apa?" Aku menatap Anne dengan serius, mencoba untuk mengingat apa yang terjadi semalam.
"Apa ada bagian yang ku lewatkan semalam? Ah, sepertinya tidak." Monolog ku dalam hati.
"Masa tidak ingat? Kita semalam baru saja membeli coklat dan membuat uang saku kita pergi."
Mulutku sontak terbuka lebar, bahkan rasanya rahangku hampir jatuh, mataku yang membulat sempurna seperti akan keluar dari tempatnya. Demi photo bias Shanne yang selalu ia pamerkan, Khayalan jawabannya sudah sampai di tahap tertinggi tapi jatuh begitu saja.
"Demi Bintang Sirius, aku udah serius dengerin nya tapi kamu malah bercanda. Udahlah, sana-sana masuk kamar, bermimpi menikah dengan Scoups saja, nyebelin kamu." Aku mendorong kasar Lilianne yang hanya tertawa dengan puas.
"Iya-iya, aku masuk ke dalam. Kamu kalau udah ngantuk masuk, jangan tidur diluar. Kita gak punya pangeran dengan kuda gagahnya yang bakalan gendong kamu masuk ke kamar terus kasih kata-kata manis penghantar tidur."
Aku mendengus sebal dan mengacuhkan Anne yang sudah masuk ke dalam, palingan sebentar lagi ia akan berteriak dan berkata ingin menikah dengan Scoups.
"Li, ini cardigan pakai, Dingin diluar. omong-omong untuk pertanyaanmu, jawabannya ada di masa lalu. Kita kehilangan sosok tercinta." Aku diam, menerima cardigan yang dilemparkan lewat jendela.
Semua yang datang akan pergi, ntah itu karena selesai atau memang akhir dari ujung cerita. Takdir memiliki rahasia, mengikhlaskan dan mengikuti akan kemana kisah ini berlanjut itu adalah tugas selanjutnya.