#coretan — dari Harsa
Gemintang kini menghiasi langit. Tepat tatkala saya selesai mematut diri didepan cermin-waktu telah menunjukan pukul delapan tepat. Saya melirik sejenak, kemudian bersiap berangkat.
Dan disinilah saya setengah jam kemudian. Bersama ia, sang pujaan hati. Kali ini lebih spesial dari bermalam-malam sebelumnya.
Dean tampak cantik malam itu. Dengan balutan kemeja merah-hitam panjang, celana jeans putih dan sepatu converse favoritnya. Tak lupa pula ia, merias diri dengan lip gloss dan bedak tipisnya. Sempurna.
“Dean…” Saya memulai percakapan tatkala kami telah selesai memesan.
Yang dipanggil kemudian menjawab lembut. “Dalem, Harsa.”
Saya termangu sejenak menatapnya. Lantas kaku-kaku meraih tangannya. “Hm.. masih ingatkah kamu, awal kita bertemu?” Dean mengangguk samar sebagai jawaban.
“Lucu sekali bukan hidup ini? Berawal dari pertemuan singkat kita, kemudian menjalin hubungan sepasang kekasih.” Saya melanjutkan dengan kekehan yang terselip disana.
Manusia didepan saya ini mengangguk kembali. “Harsa, nggak ada yang tahu perihal takdir.” Ia membuka mulutnya, berkata pelan.
Detik berikutnya, saya memamerkan senyum. Kemudian menarik napas panjang, menetralkan detak jantung sebelum akhirnya memulai berbicara.
“Dean, ayo menikah.”
Ruangan restoram itu cukup remang pencahayaannya, namun tak dapat saya pungkiri, bahwa saya tahu bahwa lelaki itu cukup terkejut atas omongan saya barusan. Senyum kecut kemudian terukir dalam wajah saya. Gundah, walau saya tahu ia pun mencintai saya. Seperti saya mencintainya.
Meja itu lenggang lima menit berikutnya. Si manis tampak menghilang bersama atmanya. Melamun.
“Dean?” Yang dipanggil terbuyarkan lamunannya. Menoleh, tanpa menjawab.
Saya kembali termangu. “Kalau belum bisa jawab, nanti saja. Pikirkan dahulu, ya? Aku tahu ini cukup mendadak buatmu.”
Dean kemudian membenarkan duduknya. Berdeham sekali, lantas netranya menatap saya. Bersiap memberi jawaban. “Aku…” Ia tergagap.
Pemuda itu menggeleng samar. “Aku.. tidak bisa menolakmu!” Ia berkata lantang. Matanya berkaca-kaca, airmatanya siap jatuh.
“Terimakasih” saya memeluknya saat itu juga. Saling menyalurkan seluruh perasaan Bahagia bersama-sama. Kekasih saya itu menangis. Wajahnya memerah menahan malu dan bahagia yang menjadi satu.
Pelukan itu longgar kemudian. Saya menggenggam tangannya erat, masih dengan senyum yang mengembang sempurna. Kemudian berkata.
“Perutku rasanya tiba-tiba menjadi ladang bunga dengan ribuan kupu-kupu didalamnya. Bahagia sekali.”
Dean tertawa sebagai jawaban. Tawa yang akan menemani saya hingga akhir hayat.
ⓒ naresh, na
Gemintang kini menghiasi langit. Tepat tatkala saya selesai mematut diri didepan cermin-waktu telah menunjukan pukul delapan tepat. Saya melirik sejenak, kemudian bersiap berangkat.
Dan disinilah saya setengah jam kemudian. Bersama ia, sang pujaan hati. Kali ini lebih spesial dari bermalam-malam sebelumnya.
Dean tampak cantik malam itu. Dengan balutan kemeja merah-hitam panjang, celana jeans putih dan sepatu converse favoritnya. Tak lupa pula ia, merias diri dengan lip gloss dan bedak tipisnya. Sempurna.
“Dean…” Saya memulai percakapan tatkala kami telah selesai memesan.
Yang dipanggil kemudian menjawab lembut. “Dalem, Harsa.”
Saya termangu sejenak menatapnya. Lantas kaku-kaku meraih tangannya. “Hm.. masih ingatkah kamu, awal kita bertemu?” Dean mengangguk samar sebagai jawaban.
“Lucu sekali bukan hidup ini? Berawal dari pertemuan singkat kita, kemudian menjalin hubungan sepasang kekasih.” Saya melanjutkan dengan kekehan yang terselip disana.
Manusia didepan saya ini mengangguk kembali. “Harsa, nggak ada yang tahu perihal takdir.” Ia membuka mulutnya, berkata pelan.
Detik berikutnya, saya memamerkan senyum. Kemudian menarik napas panjang, menetralkan detak jantung sebelum akhirnya memulai berbicara.
“Dean, ayo menikah.”
Ruangan restoram itu cukup remang pencahayaannya, namun tak dapat saya pungkiri, bahwa saya tahu bahwa lelaki itu cukup terkejut atas omongan saya barusan. Senyum kecut kemudian terukir dalam wajah saya. Gundah, walau saya tahu ia pun mencintai saya. Seperti saya mencintainya.
Meja itu lenggang lima menit berikutnya. Si manis tampak menghilang bersama atmanya. Melamun.
“Dean?” Yang dipanggil terbuyarkan lamunannya. Menoleh, tanpa menjawab.
Saya kembali termangu. “Kalau belum bisa jawab, nanti saja. Pikirkan dahulu, ya? Aku tahu ini cukup mendadak buatmu.”
Dean kemudian membenarkan duduknya. Berdeham sekali, lantas netranya menatap saya. Bersiap memberi jawaban. “Aku…” Ia tergagap.
Pemuda itu menggeleng samar. “Aku.. tidak bisa menolakmu!” Ia berkata lantang. Matanya berkaca-kaca, airmatanya siap jatuh.
“Terimakasih” saya memeluknya saat itu juga. Saling menyalurkan seluruh perasaan Bahagia bersama-sama. Kekasih saya itu menangis. Wajahnya memerah menahan malu dan bahagia yang menjadi satu.
Pelukan itu longgar kemudian. Saya menggenggam tangannya erat, masih dengan senyum yang mengembang sempurna. Kemudian berkata.
“Perutku rasanya tiba-tiba menjadi ladang bunga dengan ribuan kupu-kupu didalamnya. Bahagia sekali.”
Dean tertawa sebagai jawaban. Tawa yang akan menemani saya hingga akhir hayat.
ⓒ naresh, na