Munich, 27 Desember 1989.
Munich; selalu menjadi saksi bisu dari kalbu yang berseteru dengan rasa merindu. Saban hari semakin menggebu. Daksa kaku terjerat oleh pilu yang kian membiru, sebab 'tak pernah bersua dengan titik bertemu. Penghujung tahun pada hari Sabtu, dirinya dimabuk oleh ambu semanis madu. Duduk bersisian di dalam toko buku, saling melempar beribu astu. Sisa dari pertemuan manis yang 'tak jadi satu, kini tertulis dalam catatan dengan tajuk masa lalu.
Nayanika berhias dua netra coklat terang, menatap nyalang pada serumpun potret usang. Sekumpulan foto tersusun rapih dalam album yang tercipta hanya untuk dikenang. Insan yang dicinta datang untuk sekedar menumpang, ceritera dibiarkan dengan alur yang rumpang.
Ranum berhenti menyuarakan sorak sorai. Naskah kini dibiarkan terbengkalai, diri seolah lalai. Dalam hati 'tak pernah sekalipun terbesit rasa abai. Hanya saja kisah telah usai bahkan sebelum sempat terlontar kata mulai.
Munich; selalu menjadi saksi bisu dari kalbu yang berseteru dengan rasa merindu. Saban hari semakin menggebu. Daksa kaku terjerat oleh pilu yang kian membiru, sebab 'tak pernah bersua dengan titik bertemu. Penghujung tahun pada hari Sabtu, dirinya dimabuk oleh ambu semanis madu. Duduk bersisian di dalam toko buku, saling melempar beribu astu. Sisa dari pertemuan manis yang 'tak jadi satu, kini tertulis dalam catatan dengan tajuk masa lalu.
Nayanika berhias dua netra coklat terang, menatap nyalang pada serumpun potret usang. Sekumpulan foto tersusun rapih dalam album yang tercipta hanya untuk dikenang. Insan yang dicinta datang untuk sekedar menumpang, ceritera dibiarkan dengan alur yang rumpang.
Ranum berhenti menyuarakan sorak sorai. Naskah kini dibiarkan terbengkalai, diri seolah lalai. Dalam hati 'tak pernah sekalipun terbesit rasa abai. Hanya saja kisah telah usai bahkan sebelum sempat terlontar kata mulai.