“Kenapa sih, kamu meringkuk mulu di kasur, ayo bangun, jangan jadi pemalas!” kata Mama.
Aku diam. Tidak bergerak, tidak pula menjawab. Masih bertahan dengan posisi memeluk kedua lututku. Masih membiarkan mataku bengkak dengan air mata yang jatuh tidak tahu diri.
“Kamu kenapa, nangis?”
Enggan, aku masih enggan menjawab. Kendati air mata itu makin-makin jatuh dengan biadabnya.
“Kenapa sih? Jangan terlalu mendramatisir segalanya sampai kamu nangis gitu.”
Aku hanya menggeleng. Lupa cara menyusun kata, tidak bisa aku meregulasi otakku agar bekerja dan menyuruh bibirku berbicara. Yang aku lakukan hanya memberi gelengan tidak pasti pada setiap pertanyaan Mama.
“Ada yang bikin sedih? Masalah apa? Kawanmu? Cowok?”
Jengah. Bukan itu, Ma! Ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku jelaskan. Yang pasti sakit, Ma. Sampai-sampai kini aku tidak merasa apapun. Aku tidak sedih, Ma. Tidak pula berbahagia. Aku kosong, Ma.
“Kalau ditanya dari tadi jawab! Bukan melamun.”
“Jangan tanya gitu, Ma. Aku cuma mau diam,” jawabku akhirnya.
“Gak boleh gitu! Orang tua khawatir, kamu bakal ngerasain waktu kamu punya anak nanti.”
Aku hanya terkekeh pelan. Dalam hati mengumpat dan bersumpah banyak. Ingin kubalas, bahwa aku akan mati secepatnya. Tidak akan aku rasakan bagaimana rasanya jadi dirimu, Ma. Jadi sosok Ibu yang mempunyai seorang anak tidak berguna dan hanya terjebak bersama depresi di kamarnya.
“Sudah! Cepat makan. Hidupmu masih panjang, ini bukan apa-apa. Tidak usahlah kamu berlarut dalam kesedihanmu itu.”
Dengan itu, Mama pergi. Meninggalkan aku dalam ruangan yang sudah terpenuhi oleh air mataku sendiri. Aku tenggelam bersama kalimat-kalimat membunuh yang terlontar dari bibir Mama. Mama benar. Aku hanya terlalu menanggapi segalanya berlebihan. Aku terlalu berlarut dalam perasaan, dramatis, dan tidak tahu arti bersyukur.
Aku beranjak dari kasurku. Bukan, bukan untuk makan seperti yang Mama suruh. Yang kulakukan adalah melarikan kedua tanganku ke dalam tas, mengambil obat-obatan entah bernama apa. Tidak ragu-ragu, sepuluh butir kuteguk habis.
Mama, aku lelah. Tidak mau bangun, tidak mau makan. Aku hanya ingin tertidur.
—api.
#chickenbones
Aku diam. Tidak bergerak, tidak pula menjawab. Masih bertahan dengan posisi memeluk kedua lututku. Masih membiarkan mataku bengkak dengan air mata yang jatuh tidak tahu diri.
“Kamu kenapa, nangis?”
Enggan, aku masih enggan menjawab. Kendati air mata itu makin-makin jatuh dengan biadabnya.
“Kenapa sih? Jangan terlalu mendramatisir segalanya sampai kamu nangis gitu.”
Aku hanya menggeleng. Lupa cara menyusun kata, tidak bisa aku meregulasi otakku agar bekerja dan menyuruh bibirku berbicara. Yang aku lakukan hanya memberi gelengan tidak pasti pada setiap pertanyaan Mama.
“Ada yang bikin sedih? Masalah apa? Kawanmu? Cowok?”
Jengah. Bukan itu, Ma! Ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku jelaskan. Yang pasti sakit, Ma. Sampai-sampai kini aku tidak merasa apapun. Aku tidak sedih, Ma. Tidak pula berbahagia. Aku kosong, Ma.
“Kalau ditanya dari tadi jawab! Bukan melamun.”
“Jangan tanya gitu, Ma. Aku cuma mau diam,” jawabku akhirnya.
“Gak boleh gitu! Orang tua khawatir, kamu bakal ngerasain waktu kamu punya anak nanti.”
Aku hanya terkekeh pelan. Dalam hati mengumpat dan bersumpah banyak. Ingin kubalas, bahwa aku akan mati secepatnya. Tidak akan aku rasakan bagaimana rasanya jadi dirimu, Ma. Jadi sosok Ibu yang mempunyai seorang anak tidak berguna dan hanya terjebak bersama depresi di kamarnya.
“Sudah! Cepat makan. Hidupmu masih panjang, ini bukan apa-apa. Tidak usahlah kamu berlarut dalam kesedihanmu itu.”
Dengan itu, Mama pergi. Meninggalkan aku dalam ruangan yang sudah terpenuhi oleh air mataku sendiri. Aku tenggelam bersama kalimat-kalimat membunuh yang terlontar dari bibir Mama. Mama benar. Aku hanya terlalu menanggapi segalanya berlebihan. Aku terlalu berlarut dalam perasaan, dramatis, dan tidak tahu arti bersyukur.
Aku beranjak dari kasurku. Bukan, bukan untuk makan seperti yang Mama suruh. Yang kulakukan adalah melarikan kedua tanganku ke dalam tas, mengambil obat-obatan entah bernama apa. Tidak ragu-ragu, sepuluh butir kuteguk habis.
Mama, aku lelah. Tidak mau bangun, tidak mau makan. Aku hanya ingin tertidur.
—api.
#chickenbones